Friday, January 29, 2010

What A Wonderful Lucerne


Text & Photo by Mary Sasmiro

Perjalanan 16 hari di Eropa musim gugur yang lalu saya menyinggahi kota-kota cantik yang sulit dilupakan. Salah satunya adalah Lucerne, sebuah kota yang tidak terlalu besar di negara Swiss. Jangan berpikir saya terkesan karena suasana romantis seperti yang saya rasakan di Paris, tidak juga seperti kesan glamour dan aristokrat yang saya temui di London, tapi Lucerne meninggalkan kesan mendalam sebagai kota yang begitu tenang, bersih dan cantik. Sebuah kota yang begitu berbudaya, kaya akan sejarah, kaya akan pemandangan yang indah. Sebuah kota yang sederhana tapi begitu kaya akan kesederhanaanya.

Saya hanya tinggal dua malam di kota cantik ini. Saat pertama bus kami memasuki kota ini setelah meninggalkan kota Innsbruck-Austria, saya sudah jatuh cinta. Langitnya begitu biru, dikelilingi oleh panorama pegungunan dan di tengah kota dilalui sebuah danau indah yang bersih, dengan angsa-angsa putih berenang dengan anggunnya. Burung-burung camar beterbangan, ada pula yang asyik bertengger di sepanjang jembatan, ataupun di sepanjang jalan trotoar dan sepertinya mereka tidak terlalu peduli dengan manusia-manusia yang lewat di depan mereka. Mereka asyik saja sendiri.

Setelah bus berhenti di depan hotel, saya tak sabar ingin segera meletakkan koper di kamar dan pergi jalan-jalan sendiri menyusuri kota Lucerne yang cantik ini. Karena besok pagi grup tour saya akan berangkat ke Mount Titlis di pagi hari, untuk melihat salju abadi yang sudah lama saya bayang-bayangkan dalam benak. Dan saya yakin acara itu akan selesai baru setelah sore hari. Sangat sayang untuk melewatkan kota cantik ini begitu saja…jadi ketika ada acara bebas di sore hari setelah selesai check in di hotel, buru-buru saya mengajak teman sekamar bergegas keluar hotel. Berkelanalah kami berdua menyusuri jalan dan jembatan di tengah kota. Aduh, indahnya. Kami berdua sibuk saling bertukar kamera untuk saling memotret.

Cuaca saat itu cukup dingin, sekitar 8 derajat di kala matahari mulai terbenam dan turun menjadi sekitar 6 dejarat celcius di kala malam. Dan entah kenapa, saya justru senang dengan hawa seperti itu. Nuansa yang begitu berbeda dengan rutinitas saya di Jakarta. Berjalan menyusuri kota yang cantik dengan gedung-gedung tua yang dirawat dengan baik itu dimana daun-daun mulai berguguran, dan melihat para pejalan kaki yang stylish seperti memberi keasyikan tersendiri. Saya pun tak ketinggalan menikmati gaya autumn, turtle neck, syal, jacket, sepatu boot dan parfum kesayangan Hermes Eau Des Merveilles menemani saya sehari belajar menjadi European. Seru.

Beruntung hotel yang saya tempati benar-benar berada di tengah kota. Berjalan kaki 5 menit saya sudah sampai di stasiun kereta Lucerne. Berjalan dari sana 5-10 menit lagi, saya sudah bisa sampai di jantung kota Lucerne. Sungai Reuss terbentang indah dengan pertemuan dengan Danau Lucerne. Terlihat pula Water Tower dan Chapel Bridge yang berdiri cantik diatas sungai, dan ternyata kedua tempat itu menyimpan cerita yang menarik.

Chapel Bridge & Water Tower
Mengapa Chapel Bridge ini begitu terkenal dan menjadi semacam salah satu landmark kota Lucerne? Pertama, Chapel Bridge diyakini merupakan jembatan kayu tertua di Swiss dan dibangun pada sekitar pertengahan abad ke-14. Ditambah lagi, rasanya tak banyak jembatan kayu yang dihiasi lukisan-lukisan indah di langit-langitnya. Terdapat dua jembatan jenis itu yang ada di Lucerne, Chapel Bridge dan Spreuer Bridge.

Mulanya saya tidak terlalu ngeh pada gambar-gambar di langit-langit itu. Ketika berjalan malam-malam berdua dengan teman melewati jembatan itu, kami sudah pegal linu kakinya karena sebelumnya sudah menjelajah dari ujung ke ujung area shopping di tengah kota, saya mengajak teman sekamar saya itu duduk ketika melihat ada bangku bertengger manis di salah satu pojok jembatan. Mulailah kami berdua memijat-mijat kaki dan sedikit meluruskan badan.Saya memiliki kebiasaan menengadah ke langit mencari bintang-bintang bertaburan di langit kala malam hari jika sedang berada di lingkungan outdoor. Dan ditengah udara terbuka musim gugur Eropa yang sudah lama saya idam-idamkan, saya menengadah keatas, ada satu dua buah bintang. Kemudian saat itu lah mata saya menangkap adanya lukisan diatas langit-langit jembatan. Indah sekali. Lukisan-lukisan tersebut pastinyalah memiliki cerita karena sepertinya memiliki alur. Dan ada tulisan menghiasinya. Sayang, selain jarak yang agak jauh, saya memang tidak mengerti tulisannya yang rasa-rasanya berbahasa Jerman. Tapi gambar sudah mewakili seribu bahasa, saya sudah cukup senang menikmati gambar-gambar yang indah itu tanpa harus membaca. Lukisan tersebut sepertinya dari abad medieval era, dan bercertia tentang mitos-mitos kuno, jika saya tidak salah menginterpretasikan makna lukisan tersebut.

Lalu mata saya menangkap bayang sebuah menara berbentuk octagon yang megah berdiri seolah mencuat dari dalam sungai. Saya penasaran apakah itu, dan setelah keesokan harinya saya menyakan kepada tour leader saya, ternyata menara itu bernama Water Tower. Dibangun pada sekitar tahun 1300 dengan tinggi kurang lebih 34 meter, menara ini dulunya ternyata adalah sebuah penjara dan tempat penyiksaan.

Jujur saya tidak menyangka, pikir saya, bangunan itu sepeti bagian dari menara penjaga istana atau bagian menara penjaga kota. Dengan berada di tengah sungai secantik Sungai Reuss dan dilalui Chapel Bridge yang indah dihias bunga-bunga musim gugur, Water Tower sama sekali tak terlihat sebagai tempat yang ternyata dulunya menyimpan kisah cenderung menyeramkan.

Sampai hari ini, saya masih sering mengingat kecantikan panorama kota Lucerne yang te rekam dalam ingatan ketika malam tiba. Dimana, bayangan bangunan tua yang indah dihiasi temaran cahaya lampu berwarna kuning keemasan, terpantul indah diatas gelap warna sungai di kala malam.

Rasanya jika tidak memikirkan besok harus bangun pagi untuk bersiap-siap menuju Mount Titlis menyaksikan salju abadi, saya malas beranjak dari tempat saya asyik memandangi kota ini di kala malam hari.

The Lion Monument
Hari kedua di Lucerne, pagi hari dilewati dengan perjalanan dengan bus menuju Mount Titlis, gunung dengan salju abadi yang begitu terkenal sebagai aset wisata di Swiss. Perjalanan tak terlalu lama. Dan saya sangat menikmati pemandangan serba putih yang saya dapati disana. Walaupun salju di Mount Titlis bukanlah salju pertama yang saya lihat, namun tak urung saya juga menjadi kegirangan seperti anak kecil berusaha berlari-larian kecil diatas hamparan salju putih dengan atap langit biru yang begitu cerah. Sayang sepatu boot saya yang memang bukan khusus sepatu untuk diajak berjalan diatas licinnya salju, membuat saya kewalahan karena berkali-kali saya hampir terpeleset. Tapi, walaupun waktu di Mount Titlis tidak lama, saya kembali ke kota Lucerne meninggalkan kenangan manis di atas gunung menjulang tinggi yang deselimuti salju abadi itu.

Kebetulan hari itu adalah hari Kamis, dan di Eropa ternyata tak beda dengan di Australia, dimana hari-hari biasa toko-toko rata-rata tutup sekitar jam 5-6 sore, dan khusus di hari Kamis, serentak mereka tutup lebih malam, sekitar jam 9. Aneh memang, tapi sudahlah, saya tak peduli, saya merasa beruntung malam terakhir saya di kota Lucerne adalah hari Kamis, jadi saya puas berkeliaran dan menjelajah toko-toko.

Tiba lagi di Lucerne, jam masih menunjukkan pukul 15.30 sore. Saya sudah bersiap-siap ingin menjelajah toko Duty Free seperti yang ada di agenda itenary tour karena saya sudah mengincar sebuah jam tangan idaman. Tapi ternyata kita tidak langsung diajak bershopping ria, tour leader saya yang ramah dan kaya akan cerita-cerita sejarah itu mengajak kita semua mengunjungi sebuah monumen yang kini menjadi salah satu obyek wisata yang patut dikunjungi jika kita berada di kota Lucerne, The Lion Monument.

Banyak anggota tour yang lebih bernafsu buru-buru menuju area pertokoan. Saya masih penasaran dengan kisah The Lion Monument yang sekilas telah diceritakan tour leader saya ketika kami semua masih di bus. Ketika akhirnya saya menyaksikannya sendiri, entah karena saya adalah orang yang sangat sensitif atau apa, rasanya trenyuh melihat patung singa gagah perkasa yang tergolek mati terluka berbentuk ukiran raksasa di tembok batu diatas sebuah kolam kecil yang di sekelilingnya dihiasi aneka tanaman berwarna indah.

Saya begitu memperhatikan detail ukiran singa tersebut. Betapa ekspresi wajah singa yang tergolek mati dengan luka tusukan di perutnya itu terlihat begitu lelah dan kesakitan di detik-detik terakhir hidupnya. Dengan mati tergolek diatas perisai perang dan tombak, saya teringat kisah singkat yang tadi diceritakan pada saya.

The Lion Monument dengan tinggi 6 meter dan lebar 10 meter ini adalah monumen yang diukir langsung diatas bongkahan batu raksasa diatas telaga di tengah kota dekat taman Glasier. Diukir oleh seorang pematung asal Denmark bernama Bertel Thorvaldesen yang ditunjuk untuk menciptakan sebuah monumen memorial untuk mengenang para tentara Swiss yang gugur membela raja Prancis, King Louis XVI semasa perang Revolusi Prancis. Ketika massa menyerang kastil Tuileries di Paris pada tanggal 10 Agustus 1792, tentara Swiss yang terkenal, berjuang membantu membela para keluarga raja dan mengusahakan mereka untuk bisa keluar dan melarikan diri. Lebih dari 700 tentara Swiss gugur ketika mempertahankan istana dan keselamatan King Louis XVI, Marie Antoinette dan anak-anaknya.


Diatas ukiran tubuh sang singa perkasa, terdapat sebaris tulisan HELVETIORUM FIDEI AC VIRTUTI yang berarti ‘ Untuk kesetiaan dan keberanian pejuang Swiss,”. Pantas saya trenyuh melihat patung itu, singa gagah perkasa yang kini digambarkan tergolek lunglai, adalah gambaran keberanian dan kesetiaan membela sampai titik darah penghabisan. Terlihat dari bagaimana sang singa perkasa tergolek mati diatas perisai dan tombak. Mengagumkan.

Lucerne, kota jam tangan
Saya tidak pernah berencana untuk bershopping ria di Eropa karena niat utamanya hanya ingin memenuhi obesesi lama untuk bisa berkeliling Eropa melihat segala keindahannya di musim gugur. Niat paling banter berburu parfum di Paris yang memang terkenal gudang segala parfum ternama dan saya memang penggila parfum yang cenderung seperti pecandu akut.

Tapi ternyata kenyataannya Lucerne sangat menggoda sebagai kota untuk bershopping ria. Hanya di salah satu toko terbesar disitu,Bucherer, saya tahan keliling-keliling di dalamnya selama dua jam lebih! Saya jatuh cinta pada jam tangan TAG HEUR yang saya idam-idamkan sejak lama. Tidak murah memang, tapi entah mengapa , ketika di Jakarta saya bisa meredam niat membeli, sampai di Lucerne, Swiss, dimana terkenal sebagai pabrik dan pusat jam tangan branded saya menjadi tak tahan godaan. Mungkin karena produk-produknya dipajang begitu lengkap rangenya, ditambah pelayanannya yang ramah dan begitu profesional menjelaskan produk dan yang penting ditambah iming-iming diskon dan tax refund, iman saya jadi goyah. Dan ternyata banyak anggota tour lain yang juga asyik berbelanja ria. Ada yang berbelanja Rolex yang memang terkenal menjadi obyek shopping para turis penggemar jam-jam mewah. Bukan kelas saya, yang budget shopping agak seret, tapi tak urung saya tetap menikmati berkeliling melihat begitu banyak jam-jam tangan cantik dan mewah bertengger rapi di etalase. Sampai-sampai di tengah kota kecil ini, toko duty free yang saya singgahi ini memakai simbol jam rolex sebagai penanda di depan tokonya.

Swiss yang bermata uang Swiss Franc memang rasanya tempat yang asyik untuk bershopping karena mata uangnya lebih rendah dibanding Euro, dan tax refund yang ditawarkan cukup meringankan kantong. Terutama bila ingin berbelanja jam-jam tangan ternama. Ada yang bilang jam tangan Rolex sebetulnya lebih mahal di Swiss daripada membeli di Indonesia, tapi keaslian dan kualitas yang dibeli di Swiss pastilah lebih tak meragukan. Makanya saya tak heran masih saja banyak turis-turis baik dari Indonesia maupun negara-negara Asia lain seperti China, Hong Kong, Jepang dan Taiwan sampai setengah mengantri menunggu dilayani di counter Rolex yang memang memiliki ruang tersendiri dan jauh lebih mewah. Heran, jam tangan berharga 70 juta perak lebih, ada yang ratusan juta rupiah jika di kurs, tetap saja membuat orang mengantri membeli seperti hanya membeli jam tangan berharga ratusan ribu rupiah.

Petang Terakhir di Lucerne yang Penuh Warna
Karena saya memang bukan shophaholic sejati, saya tidak lama-lama menjelajah dari toko ke toko. Kalaupun iya, sebetulnya lebih pas disebut saya ber-window shopping. Memang Lucerne tempat menyenangkan untuk berbelanja. Saya tidak menyangka kota kecil yang semula saya kira cuma menjual pemandangan sebagai atraksi turis ini , ternyata memiliki aneka butik-butik branded. Mulai dari Morgan, Topshop sampai Bally. Belum lagi begitu banyak toko-toko yang menawarkan jam-jam tangan branded mulai dari Swacth sampai Rolex. Sebetulnya saya ingin berburu parfum, karena ada toko parfum yang begitu lengkap dan menggoda. Tapi pikir punya pikir, 3 hari lagi saya akan sampai di Paris, biarlah saya menahan napsu berburu saya sampai saya menginjakkan kaki di pusat mode dan parfum dunia itu. Jadi, sisa waktu yang masih saya miliki di kota Lucerne ini saya pakai untuk berkeliling kota lagi. Karena kemarin rasanya masih belum cukup, langit sudah mulai gelap kemarin ketika saya dan teman saya berjalan-jalan. Kini barang belanjaan saya cuma satu, jam tangan. Dan ketika teman-teman tour lain masih kalap bershopping ria dengan potongan harga duty free, saya dan teman sekamar saya memilih untuk menikmati beberapa jam terakhir kami di kota ini dengan menikmati klasiknya bangunan tua dan indahnya kota.

Kami berdua melewati sekali lagi Chapel Bridge di sore hari, kesan yang saya tangkap beda dengan yang saya dapat kemarin ketika melihatnya di kala langit sudah mulai gelap. Kecantikan jembatan tua yang sederhana namun terlihat kokoh dan bertengger anggun itu semakin nyata terlihat. Dihiasi kembang-kembang berwarna cerah, saya tak bosan bersyukur pada Tuhan, saya diberi kesempatan untuk melihat indahnya kota-kota di Eropa yang sudah lama saya idamkan. Semua menyimpan kesan tersendiri dengan ciri khas masing-masing. Tuhan benar-benar kreatif menciptakan dunia ini, dengan segala perbedaan budaya, ras, geografi dan lain-lain.

Dan karena itu, saya dan teman saya yang kebetulan sama-sama beragama katolik ingin mengucap syukur, entah kenapa pula kami berdua asyik mencari-cari gereja. Dan tak lama setelah kami menyusuri jalan, sampailah kami di depan sebuah gereja. Tak terlalu besar memang, tapi bangunannya memberi kesan begitu megah, begitu memberi kesan sakral buat saya. Gereja itu bernama The Jesuit Chruch. Dibangun sekitar tahun 1666 – 1677. Gereja cantik itu memiliki gaya design Baroque yang megah namun tidak terlalu mewah. Cukup sederhana, namun tetap mengesankan. Beruntung sedang ada misa sore disana, kami berdua memutuskan masuk, biarpun misa dengan bahasa Jerman itu tak satupun kata yang bisa saya mengerti. Mungkin hanya kata Amen. Lima belas menit berada di dalam, cukup buat saya untuk mengucap syukur kepadaNya, saya diberi kesempatan menyaksikan banyak tempat-tempat indah dalam perjalanan kali ini. Diberi keberuntungan dimana di musim gugur yang katanya sering turun hujan ini, saya selalu mendapati langit cerah dan biru terang tanpa hujan yang mengganggu.

Di luar gereja, saya mendapati pemandangan indah sungai Reuss yang terbentang cantik. Di sisi seberang tempat saya berdiri terlihat gedung-gedung tua dan café-café pinggir jalan yang cantik berpayung kuning cerah. Burung-burung camar beterbangan kesana kemari, ada yang bertengger di sepanjang pagar jembatan. Dan di atas sungai Reuss yang cantik itu, banyak angsa-angsa putih berenang dengan anggunnya. Dan ada sejenis bebek kecil berwarna-warni hijau dan biru keunguan, aduh cantik sekali. Tak henti saya memanggil-manggil unggas-unggas cantik itu. Merayu mereka untuk mendekat hingga saya leluasa memotret mereka. Saya begitu penasaran ingin memotret bebek berwarna itu, karena biasanya bebek model begitu hanya saya liat di ukiran-ukiran kayu Bali. Mahluk menggemaskan!

Cuaca sedang cerah-cerahnya ketika saya asyik berjalan kaki menyusuri kota kecil ini di hari terakhir saya disana. Saya kaget karena saya tidak sama sekali merasa lelah berjalan kaki segitu lamanya. Berkeliling kesana kemari. Memotret sana sini. Berusaha merekam setiap jengkal tempat yang saya kunjungi dan kenangan itu ingin saya abadikan untuk dikenang setelah saya kembali ke tanah air. Setelah asyik memotret di area depan gereja, saya dan teman berjalan mengikuti arah kemana kaki membawa kami. Tak lama kami berhenti di depan sebuah menara jam di tengah kota. Segera kami berdua membuka brosur travel guide yang kita ambil di lobby hotel tadi. Ternyata areal tempat kami berdiri adalah City Hall yang disana disebut Rathaus dan menara jam di depan kami itu adalah the Clock Tower. Salah satu simbol kota Lucerne selain Water Tower dan Chapel Bridge. Saya dengar-dengar, tempat ini sering dijadikan lokasi pemotretan photo-photo perkawinan. Tak heran, memang cantik.

Kami terus berjalan dan sampailah di satu tempat dimana saya melihat sebuah kolam air terjun kecil, di tengah-tengahnya berdiri semacam sebuah monumen kecil berukir wajah-wajah pada empat sisi tiang monumen. Di pucuk atas bertengger seorang prajurit berjubah perang. Saya penasaran apa nama benda yang berada di depan saya ini. Setelah mencari tahu, ternyata namanya Fritchi Fountain, air mancur Fritschi. Informasi yang saya dapatkan hanya menceritakan legenda tentang Brother Fritschi yang ternama di Swiss. Konon ada yang bilang, kuburannya ada di bawah air mancur tersebut. Saya tidak tahu apa itu hanya legenda atau sebuah kenyataan.

Kaki masih juga tak lelah berjalan, kami berdua menyusuri lagi jalan-jalan kecil yang ada di kota Lucerne. Terus berjalan hingga sampai kembali di toko dimana saya membeli jam tangan. Masih terlihat beberapa teman satu tour yang masih asyik heboh berbelanja. Saya lihat tangan mereka sudah menenteng berbagai paperbag. Bally, Tissot dan lain-lain.

Schwanenplatz atau bahasa Inggrisnya Swan’s Square, adalah area dimana toko tempat kami berbelanja tadi. Disana saya mulai melihat banyak mobil-mobil berlalu lalang. Rupanya dari tadi saya berada di jalur pedestrian yang bebas kendaraan bermotor. Tak heran saya tak terganggu dengan klakson dan suara deru mobil. Tata kota Lucerne memang didesain dengan cantik dan memperhitungkan kenyamanan penduduk dan pengunjungnya. Ada area dan jalur khusus untuk pejalan kaki dan tak tersentuh kebisingan kendaraan dan ada pula jalur yang boleh dilalui kendaraan bermotor. Andaikata Jakarta juga menerapkan sistem itu dengan baik. Asyiknya.

Matahari mulai terbenam, rasanya saya begitu jatuh cinta pada ketenangan kota cantik yang sederhana ini. Saya begitu menikmati perasaan tenang dan damai di kota ini. Tak banyak kendaraan yang berisik, bebas polusi dan keadaan tengah kota yang asyik untuk dijadikan tempat berjalan kaki begitu membuat saya diam-diam berharap di Jakarta suatu hari bisa menikmati suasana seperti itu.

Lucerne memang kota yang istimewa. Tak mudah melupakan cantiknya kota tua namun cantik dan anggun ini dengan segala bangunan-bangunan dari sejak abad 15, dengan kaca-kaca yang dihiasi lukisan-lukisan mosaik, Town Hall bernuansa jaman Renaissance yang dibalut keindahan Sungai Reiss dan Danau Lucerne yang menjadi jantung kota. Lucerne juga mengingatkan saya pada kota terapung Venice di Italy yang baru saya kunjungi beberapa hari sebelumnya. Bila Venice yang indah dan romantis itu hiruk pikuk dipadati turis, Lucerne tidaklah demikian. Saya tidak merasa harus berdesakan dengan para turis-turis lain untuk berebut mencari spot menarik untuk memotret dan dipotret. Itulah mungkin salah satu hal yang membuat saya begitu betah berlama-lama mengelilingi kota tua itu. Tenang, teratur dan pastinya indah.

Petang terakhir di kota Lucerne yang bernuansa klasik dan anggun itu meninggalkan kesan yang cukup dalam di benak saya. Saya masih kadang terkenang pada angsa-angsa putih yang cantik, masih penasaran pada bebek berwarna warni yang tak mau datang ketika saya panggil, dan saya masih ingin sekali lagi duduk-duduk di bangku pojokan Chapel Bridge sambil memandangi sungai Reuss yang memantulkan bayangan gedung-gedung tua yang terawat dengan baik.

Entah kapan saya akan kembali ke kota cantik itu. Satu hari, mungkin entah kapan, saya ingin sekali lagi mengunjungi kota-kota yang banyak meninggalkan kesan tersendiri buat saya. Pemandangan yang saya lihat disana dan orang-orang terentu yang saya temui di sepanjang masa liburan yang berkesan di musim gugur lalu.


Shopping Tips
1. Umumnya, toko-toko di Lucerne buka dari pukul 9.00-18.00 pada hari biasa, pukul 9.00-16.00 di hari Sabtu. Dan tidak semua toko buka pada hari Minggu. Tapi istimewanya, pada hari Kamis, toko-toko tutup lebih larut, sekitar pukul 21.00. Mereka menyebutnya shopping night.
2. Bila Anda peggemar coklat sejati, inilah surganya. Nestle, Tobler, Milka dan Lindt adalah produk-produk coklat andalan keluaran Swiss yang tak diragukan lagi kelezatannya. Menjadikan coklat sebagai oleh-oleh ketika pulang dari Swiss rasanya sudah tradisi.
3. Bingung mencari oleh-oleh? Kunjungi toko bernama Bucherer, di Schwanenplatz. Segala oleh-oleh khas Swiss bisa didapatkan disana. Mulai dari aneka souvenir, coklat, pisau lipat Swiss multifungsi Victorinox sampai jam Rolex.
4. Setiap pembelanjaan barang senilai 300 SWF, akan mendapatkan potongan pajak (VAT) sebanyak 7.6%. Ditambah dengan biaya administrasi sebanyak 8 SWF.


Quick Fact
1. Kota Lucerne dalam bahasa Italia disebut ‘Lucerna’, ‘Luzern’ dalam bahasa Jerman dan “Lucerne‘ dalam bahasa Prancis.
2. Musim semi adalah musim yang indah untuk menikmati bunga-bunga cantik di pinggiran kota, sedang musim panas yang jatuh di bulan Juli dan Agustus adalah saat yang tepat untuk menikmati kegiatan outdoor. Musim gugur adalah saat yang tepat untuk menikmati cantiknya daun-daun yang berubah warna. Dan musim dingin adalah saat paling pas untuk turis yang ingin mencoba winter sport seperti ski.
3. Mark Twain, seorang penulis Amerika terkenal, menganggap The Lion Monument di Lucerne sebagai, “ The saddest and most moving piece of rock in the world,”







No comments:

Post a Comment