Tuesday, March 16, 2010

Inggil - Rumah Makan Nostalgia








Text & Photos by Mary Sasmiro

Ada kalanya interior dan dekorasi sebuah restoran menambah nilai lebih pada kualitas makanan yang tersaji dengan menghadirkan ambience unik. Menu yang tersaji tersasa lebih istimewa ketika disantap dengan suasana yang tak biasa.

Perasaan itulah yang saya alami ketika menikmati hidangan khas Jawa di Restoran Inggil. Sebuah restoran unik di jalan Gajah Mada di kota Malang yang begitu bernuansa nostalgia. Nostalgia? Mengapa tidak? Saya disambut patung Batu ala Ken Dedes dengan kolam kecil di pintu masuk, seorang pramusaji berkebaya encim yang manis mempersilahkan saya memasuki restoran yang langsung membuat saya berteriak dalam hati karena kegirangan. Film-film perang dan film kolosal tentang jaman kolonial selalu menarik perhatian saya. Dan restoran ini seolah membawa saya melewati mesin waktu memasuki era jaman kolonial kala oma opa saya masih muda dulu.

Ruang Soekarno-Hatta
Entah ruang ini memang bernama itu atau tidak, namun saya sebut saja begitu karena ruang makan ini dihiasi poster hitam putih raksasa photo-photo Bung Karno dan Bung Hatta saat Kongres KNIP di Malang tahun 1947 serta aneka wall poster kota Malang jaman dulu. Di ruang ini pula saya puas menikmati guntingan koran asli jaman Belanda dulu, bahkan sampai alat keriting jaman baheula yang melihatnya saja sudah bikin kepala saya nyeri membayangkan ribetnya perempuan-perempuan dulu melewati proses keriting dengan kabel sana sini. Sebuah meja makan berukuran sedang menghadap jendela yang digantungi aneka wayang kulit yang membuatnya tampil unik.

Makan Siang di Era Masa Lampau
Ruang utama restoran ini terkesan agak remang-remang walau siang hari. Sebuah panggung yang megah lengkap dengan alat musik khas Jawa dengan background sawah sungguh seperti panggung teater keraton saja. Menu yang disajikan di sini pun khas Jawa, dari mendoan (makanan dari tempe dan campuran bumbu yang digoreng renyah), urap-urap (yang menjadi menu favorit), pecel lele dengan sambal pedas yang pas sampai es beras kencur yang segar tersedia disini. Sambil menikmati hidangan, mata saya sibuk jelalatan kiri kanan. Deretan radio kuno dan mesin jahit jaman oma-oma dipajang berderet di dinding. Sebuah lemari kaca berisi jejeran setrika kuno yang pernah saya lihat di film-film hitam putih, ada pula. Rasa ingin tahu membawa saya ngobrol dengan para waiter dan waitres berseragam ala Jawa yang ramah dan memperbolehkan saya mengintip-intip dapur dari jendela tua. Duh, benar-benar suasana ruang ini membawa imajinasi saya ke masa 50-70 tahun lalu. Restoran tak ber AC namun tak terasa panas karena bangunannya luas dan tinggi ini memang unik. Sangat memuaskan mata dan lidah yang sudah mulai bosan dengan restoran dan café baru yang menjamur berlomba menampilkan design interior mutakhir dan aneka masakan fusion di ibukota. Ada yang enak, ada yang tak karuan rasanya. Sekali-kali mencoba masakan ala rumahan dengan nuansa nostalgia akan membawa angin segar. Patut dicoba bila kebetulan Anda berlibur atau berkunjung ke kota Malang.

Restoran Inggil
Jl, Gajah Mada No. 4, Malang
Tel. (0341) 332110

Pearl Castle Icip-icip Taiwanese Food di Vancouver






Text & Photos by Mary Sasmiro


Sudah sejak dulu saya dengar masakan Taiwan modern sedang in. Namun di Jakarta rasanya belum nemu resto khas ala Taiwan yang menyajikan menu cukup bervariasi. September lalu saya berlibur ke Vancouver sekalian mengunjungi teman yang tinggal disana. Kami sama-sama pecinta makanan dan hobi icip-icip makanan baru. Akhirnya hasrat mencoba makanan Taiwan itu justru terpenuhi disana, di sebuah resto bernama cukup cute, Pearl Castle.

Berlokasi di daerah Richmond, yang notabene dihuni mayoritas Asian Community, resto yang tak terlalu luas ini selalu ramai. Interiornya khas Asia namun tampil modern. Di sekeliling banyak pengunjung dari couple, segerombolan ABG berisik, sampai keluarga. Cukup cozy ditambah waitress yang cantik-cantik ala nona San Chai yang melegenda di serial Meteor Garden.

Teman saya yang regular customer itu langsung mempromosikan jejeran menu favoritnya. Cuaca yang agak dingin di awal fall season, membuat saya melirik-lirik ke meja sebelah yang tersaji Hot Pot berisi kuah putih susu. Milk Seafood Hotpot. Ternyata memang merupakan menu favorit. Segera menu itu masuk daftar pesanan.

Appetizer berupa Fried Chicken Knee yang adalah dengkul ayam goreng tepung sungguh garing dan gurih. Saya belum pernah makan dengkul ayam. Konon, karena di pasar manapun tak dijual potongan dengkul ayam, disini mereka memotong satu-satu dengkul ayam untuk menu ini. Kenyal-kenyal crunchy. Patut dicoba. Milk Seafood Hotpot yang berisikan kuah berbahan dasar kaldu daging babi dimasak bersama susu segar dan dilengkapi seafood segar seperti udang, bakso seafood, irisan tipis daging babi, jamur shitake dan sawi putih sama sekali tak membuat eneg. Malah segar. Gurih kaldu dan manis susu pas terasa. Dihadirkan satu set bersama nasi, condiment berupa semacam saus sambal khas yang mild namun nikmat plus cream puff mungil tersaji diatas sebuah nampan cantik ala Jepang. Begitu impresif, dari tampilan dan rasa. Penasaran dengan sup berbasis tomat, kami akhirnya juga memesan sup tomat berisi irisan daging sapi. Enak, tapi tak seistimewa Milk Soup sebelumnya. Selanjutnya, Taiwanese Sausage Fried Rice, Black Pepper Chicken dan Five Spices Fried Chicken menjadi menu susulan. Yang terakhir mungkin cukup dikenal disini melalui Shilin Taiwanese Street Snack di beberapa food court di mall-mall Jakarta. Baru satu itu menu khas Taiwan yang pernah saya coba di Jakarta. Fillet ayam yang digoreng garing bertabur bumbu rahasia yang gurih dan beraroma rempah yang light membikin ketagihan.

Sebagai specialis penyaji Pearl Tea dan Milk Tea khas Taiwan, tak lupa kami memesan minuman khasnya. Red Bean Milk Tea. Saya sendiri terpaku pada drink list bernama Somewhere in Time, yang selama ini menjadi my all time favourite movie and song. Jadi tak peduli campuran agak gado-gado, Peach, Grenadine dan Orange, juga bukan drink list favorit, saya pesan juga. Not bad.

Hari mulai larut malam, pengunjung tak henti. Lidah yang masih ingin berpetualang rasa harus tunduk pada perut yang tak sudi lagi diisi. Masih banyak menu tertera ingin saya icip. Kimchee Xiao Lung Pao (sounds exotically fusion, right?) Deep Fried Fermented Pork Over Rice, The Ginseng Chicken Hot Pot, dan aneka menu noodle yang tersedia. Not to mention another exotic flavour milk tea seperti Lavender Milk Tea, atau Adam’s Dream-campuran milk, apple and strawberry. Ah, saya masih ingin kembali dan mencicipi semua itu. Mengapa tidak? Good food, dengan harga terjangkau dan suasana nyaman, what else can you ask for more?

Goyang Lidah Di Bumi Lancang Kuning






Text & Photo by Mary Sasmiro


Bulan April lalu, saya dan rekan sekantor mengunjungi Pekanbaru untuk urusan pekerjaan. Singkat memang. Hanya sehari, dan dipenuhi presentasi dan meeting. Tak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai kota tersebut karena memang tak banyak yang saya lihat kecuali kotanya yang bersih dan rapih itu cukup membekas dalam ingatan. Belum lagi bangunan-bangunan di jalan utama yang umumnya kental dengan bentuk atap dan motif khas melayu.

Namun, beruntung dalam kunjungan singkat itu, saya sempet mencicipi masakan khas Melayu disana yang sungguh menggoyang lidah. Klien saya yang ramah menawarkan lunch di hotel berbintang tempat saya dan rekan sekantor menginap, tapi kami lebih memilih diajak ke local restaurant, karena ingin mencicipi masakan lokal. Perjalanan dari hotel menuju restoran yang bernama Pondok Masakan Khas Melayu itu hanya sekitar 15 menit. Beruntung cuaca hari itu cukup bersahabat, dalam arti tak panas terik menyegat sepeti kebayakan orang menggambarkan keadaan Pekanbaru yang gersang, karena restauran itu tak ber AC, berbentuk seperti pondokan terbuka dengan beberapa pendopo.

Ibu Yusniaty sang pemilik, ternyata sudah mengenal klien saya. Mereka berakrab ria sejenak dan klien saya bilang, “Tolong Bu, tamu saya ingin mencoba masakan khas Melayu, dari Jakarta dia ini,” dengan campuran sedikit aksen melayu. Dan tak lama, pramusaji menyajikan piring-piring berisi aneka makanan dengan tampilan menggugah selera. Cara menyajikannya mirip seperti restoran Padang. Semua disajikan di meja dan tinggal kita pilih. Klien saya merekomendasikan mencoba Ikan Patin dengan bumbu tempoyak ( duren yang sudah diinapkan 4 hari dan kemudian dicampur aneka bumbu tradisional seperti cabai, kunyit dan bawang merah ). Rasanya unik.Bau duren yang biasanya menyengat tak terasa karena herbs & spices yang sudah blend in dalam racikan bumbu. Namun saat indra perasa lidah mulai bekerja, asin, manis, pedas dengan aroma khas durian yang samar terasa di dalam mulut..

Selanjutnya saya mencoba Ikan Baung Sungai yang berbumbu kuah berwarna merah menyala. Daging ikan yang lembut dengan kuah beraroma kunyit, bawang merah dan daun jeruk itu terasa asam dan pedas menyegarkan. Di piring sebelah, tersaji Ikan Pantau Garis Goreng. Bentuknya mirip ikan bilis (saya sempat mencari-cari garis pada badan ikan, entah karena sudah menjadi kecoklatan karena digoreng, garisnya tak tampak. Ah, bergaris atau tidak yang penting enak) digoreng dengan diselimuti bumbu cabai merah. Garing, gurih tak terlalu pedas tapi pas. Perut sudah mulai kenyang namun lidah masih ingin bertualang menjelajahi aneka sajian yang tersaji di atas meja. Udang galah panggang yang datang berikutnya membuat lapar mata. Sambal uleg dengan campuran cabai merah, bawang merah dan irisan buah nanas membuat saya lupa niat untuk berdiet berhubung pipi sudah mulai tampak bulat. Kata Klien saya, “Lupakan dietmu disini, di Jakarta saja Kau diet, masih banyak yang enak disini,” katanya tersenyum menyadari dilema saya. Benar saja, semangkok kerang berkuah bening disajikan di hadapan saya. Kerang darah direbus dengan bumbu sederhana seperti bawang putih, bawang merah, cabai rawit dan daun bawang menjadikan kuahnya terasa segar dan ‘tidak berat’. Saya hanya mencicip sedikit karena perut sudah berteriak penuh. Ketika melihat yang lainnya lahap menikmati ayam goreng garing dicocol sambal lengkap dengan sayur lalapnya, saya sudah menyerah. Saya memilih berjalan-jalan sekitar pendopo. Di sekeliling banyak pepohonan yang cukup rindang. Di satu sudut dinding terpajang foto sang pemilik resto dengan beberapa pejabat pemerintahan yang berkunjung kesana. Belakangan saya tahu dari klien saya, banyak orang penting seperti pejabat daerah bahkan menteri-menteri dari Jakarta bila berkunjung ke Pekanbaru tak lupa mampir ke restoran sederhana yang menyajikan masakan tak sederhana ini. Hm, tak rugi saya menolak makanan hotel dan memilih masakan lokal disini.

Tak lama Ibu Yus, menghampiri kami dengan membawa sepiring ubi goreng yang terlihat begitu yummy. Kuning menyala dan masih panas. “ Ini Ubi Janda, makanan penutup favorit pelanggan kami, “ ujarnya ramah. Saya bingung dengan namanya, dan ketika saya tanyakan, katanya tanpa alasan khusus apa-apa, hanya agar mudah diingat saja. Konon, menurut klien saya, banyak orang-orang memesan ubi janda ini untuk dibawa keluar kota bahkan sampai ke luar negeri. Wow. Saya yang terbiasa menikmati minuman yang manis-manis dan dingin sebagai hidangan penutup minta direkomendasikan minuman khas. Datanglah Jus Melayu. Campuran 4 rasa buah favorit saya, Mangga, sirsak, alpukat dan terong belanda. Aduh, minuman ini sungguh enak. Manisnya pas dan segar, tak meninggalkan rasa eneg.

Sambil menikmati hidangan penutup, sang pemilik yang ramah menawarkan diri untuk menyumbangkan suara emasnya menghibur kami. Diiringi keyboard di pendopo seberang, beliau mendendangkan lagu melayu yang saya tak tahu judulnya tapi enak didengar.

Perut kenyang, hati senang. Saya menikmati makan siang penuh warna ini dalam kunjungan singkat di kota Pekanbaru. Walau saya tak sempat bertualang berkeliling kota, paling tidak, lidah saya sempat bertualang mencicipi aneka sajian khas melayu disini dengan suasana yang sangat melayu pula.

Pondok Masakan
Khas Melayu
Jl. Jend. Sudirman/Adi Sucipto
( Dekat Bandara SSK II )
Pekanbaru