Tuesday, March 16, 2010

Inggil - Rumah Makan Nostalgia








Text & Photos by Mary Sasmiro

Ada kalanya interior dan dekorasi sebuah restoran menambah nilai lebih pada kualitas makanan yang tersaji dengan menghadirkan ambience unik. Menu yang tersaji tersasa lebih istimewa ketika disantap dengan suasana yang tak biasa.

Perasaan itulah yang saya alami ketika menikmati hidangan khas Jawa di Restoran Inggil. Sebuah restoran unik di jalan Gajah Mada di kota Malang yang begitu bernuansa nostalgia. Nostalgia? Mengapa tidak? Saya disambut patung Batu ala Ken Dedes dengan kolam kecil di pintu masuk, seorang pramusaji berkebaya encim yang manis mempersilahkan saya memasuki restoran yang langsung membuat saya berteriak dalam hati karena kegirangan. Film-film perang dan film kolosal tentang jaman kolonial selalu menarik perhatian saya. Dan restoran ini seolah membawa saya melewati mesin waktu memasuki era jaman kolonial kala oma opa saya masih muda dulu.

Ruang Soekarno-Hatta
Entah ruang ini memang bernama itu atau tidak, namun saya sebut saja begitu karena ruang makan ini dihiasi poster hitam putih raksasa photo-photo Bung Karno dan Bung Hatta saat Kongres KNIP di Malang tahun 1947 serta aneka wall poster kota Malang jaman dulu. Di ruang ini pula saya puas menikmati guntingan koran asli jaman Belanda dulu, bahkan sampai alat keriting jaman baheula yang melihatnya saja sudah bikin kepala saya nyeri membayangkan ribetnya perempuan-perempuan dulu melewati proses keriting dengan kabel sana sini. Sebuah meja makan berukuran sedang menghadap jendela yang digantungi aneka wayang kulit yang membuatnya tampil unik.

Makan Siang di Era Masa Lampau
Ruang utama restoran ini terkesan agak remang-remang walau siang hari. Sebuah panggung yang megah lengkap dengan alat musik khas Jawa dengan background sawah sungguh seperti panggung teater keraton saja. Menu yang disajikan di sini pun khas Jawa, dari mendoan (makanan dari tempe dan campuran bumbu yang digoreng renyah), urap-urap (yang menjadi menu favorit), pecel lele dengan sambal pedas yang pas sampai es beras kencur yang segar tersedia disini. Sambil menikmati hidangan, mata saya sibuk jelalatan kiri kanan. Deretan radio kuno dan mesin jahit jaman oma-oma dipajang berderet di dinding. Sebuah lemari kaca berisi jejeran setrika kuno yang pernah saya lihat di film-film hitam putih, ada pula. Rasa ingin tahu membawa saya ngobrol dengan para waiter dan waitres berseragam ala Jawa yang ramah dan memperbolehkan saya mengintip-intip dapur dari jendela tua. Duh, benar-benar suasana ruang ini membawa imajinasi saya ke masa 50-70 tahun lalu. Restoran tak ber AC namun tak terasa panas karena bangunannya luas dan tinggi ini memang unik. Sangat memuaskan mata dan lidah yang sudah mulai bosan dengan restoran dan café baru yang menjamur berlomba menampilkan design interior mutakhir dan aneka masakan fusion di ibukota. Ada yang enak, ada yang tak karuan rasanya. Sekali-kali mencoba masakan ala rumahan dengan nuansa nostalgia akan membawa angin segar. Patut dicoba bila kebetulan Anda berlibur atau berkunjung ke kota Malang.

Restoran Inggil
Jl, Gajah Mada No. 4, Malang
Tel. (0341) 332110

Pearl Castle Icip-icip Taiwanese Food di Vancouver






Text & Photos by Mary Sasmiro


Sudah sejak dulu saya dengar masakan Taiwan modern sedang in. Namun di Jakarta rasanya belum nemu resto khas ala Taiwan yang menyajikan menu cukup bervariasi. September lalu saya berlibur ke Vancouver sekalian mengunjungi teman yang tinggal disana. Kami sama-sama pecinta makanan dan hobi icip-icip makanan baru. Akhirnya hasrat mencoba makanan Taiwan itu justru terpenuhi disana, di sebuah resto bernama cukup cute, Pearl Castle.

Berlokasi di daerah Richmond, yang notabene dihuni mayoritas Asian Community, resto yang tak terlalu luas ini selalu ramai. Interiornya khas Asia namun tampil modern. Di sekeliling banyak pengunjung dari couple, segerombolan ABG berisik, sampai keluarga. Cukup cozy ditambah waitress yang cantik-cantik ala nona San Chai yang melegenda di serial Meteor Garden.

Teman saya yang regular customer itu langsung mempromosikan jejeran menu favoritnya. Cuaca yang agak dingin di awal fall season, membuat saya melirik-lirik ke meja sebelah yang tersaji Hot Pot berisi kuah putih susu. Milk Seafood Hotpot. Ternyata memang merupakan menu favorit. Segera menu itu masuk daftar pesanan.

Appetizer berupa Fried Chicken Knee yang adalah dengkul ayam goreng tepung sungguh garing dan gurih. Saya belum pernah makan dengkul ayam. Konon, karena di pasar manapun tak dijual potongan dengkul ayam, disini mereka memotong satu-satu dengkul ayam untuk menu ini. Kenyal-kenyal crunchy. Patut dicoba. Milk Seafood Hotpot yang berisikan kuah berbahan dasar kaldu daging babi dimasak bersama susu segar dan dilengkapi seafood segar seperti udang, bakso seafood, irisan tipis daging babi, jamur shitake dan sawi putih sama sekali tak membuat eneg. Malah segar. Gurih kaldu dan manis susu pas terasa. Dihadirkan satu set bersama nasi, condiment berupa semacam saus sambal khas yang mild namun nikmat plus cream puff mungil tersaji diatas sebuah nampan cantik ala Jepang. Begitu impresif, dari tampilan dan rasa. Penasaran dengan sup berbasis tomat, kami akhirnya juga memesan sup tomat berisi irisan daging sapi. Enak, tapi tak seistimewa Milk Soup sebelumnya. Selanjutnya, Taiwanese Sausage Fried Rice, Black Pepper Chicken dan Five Spices Fried Chicken menjadi menu susulan. Yang terakhir mungkin cukup dikenal disini melalui Shilin Taiwanese Street Snack di beberapa food court di mall-mall Jakarta. Baru satu itu menu khas Taiwan yang pernah saya coba di Jakarta. Fillet ayam yang digoreng garing bertabur bumbu rahasia yang gurih dan beraroma rempah yang light membikin ketagihan.

Sebagai specialis penyaji Pearl Tea dan Milk Tea khas Taiwan, tak lupa kami memesan minuman khasnya. Red Bean Milk Tea. Saya sendiri terpaku pada drink list bernama Somewhere in Time, yang selama ini menjadi my all time favourite movie and song. Jadi tak peduli campuran agak gado-gado, Peach, Grenadine dan Orange, juga bukan drink list favorit, saya pesan juga. Not bad.

Hari mulai larut malam, pengunjung tak henti. Lidah yang masih ingin berpetualang rasa harus tunduk pada perut yang tak sudi lagi diisi. Masih banyak menu tertera ingin saya icip. Kimchee Xiao Lung Pao (sounds exotically fusion, right?) Deep Fried Fermented Pork Over Rice, The Ginseng Chicken Hot Pot, dan aneka menu noodle yang tersedia. Not to mention another exotic flavour milk tea seperti Lavender Milk Tea, atau Adam’s Dream-campuran milk, apple and strawberry. Ah, saya masih ingin kembali dan mencicipi semua itu. Mengapa tidak? Good food, dengan harga terjangkau dan suasana nyaman, what else can you ask for more?

Goyang Lidah Di Bumi Lancang Kuning






Text & Photo by Mary Sasmiro


Bulan April lalu, saya dan rekan sekantor mengunjungi Pekanbaru untuk urusan pekerjaan. Singkat memang. Hanya sehari, dan dipenuhi presentasi dan meeting. Tak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai kota tersebut karena memang tak banyak yang saya lihat kecuali kotanya yang bersih dan rapih itu cukup membekas dalam ingatan. Belum lagi bangunan-bangunan di jalan utama yang umumnya kental dengan bentuk atap dan motif khas melayu.

Namun, beruntung dalam kunjungan singkat itu, saya sempet mencicipi masakan khas Melayu disana yang sungguh menggoyang lidah. Klien saya yang ramah menawarkan lunch di hotel berbintang tempat saya dan rekan sekantor menginap, tapi kami lebih memilih diajak ke local restaurant, karena ingin mencicipi masakan lokal. Perjalanan dari hotel menuju restoran yang bernama Pondok Masakan Khas Melayu itu hanya sekitar 15 menit. Beruntung cuaca hari itu cukup bersahabat, dalam arti tak panas terik menyegat sepeti kebayakan orang menggambarkan keadaan Pekanbaru yang gersang, karena restauran itu tak ber AC, berbentuk seperti pondokan terbuka dengan beberapa pendopo.

Ibu Yusniaty sang pemilik, ternyata sudah mengenal klien saya. Mereka berakrab ria sejenak dan klien saya bilang, “Tolong Bu, tamu saya ingin mencoba masakan khas Melayu, dari Jakarta dia ini,” dengan campuran sedikit aksen melayu. Dan tak lama, pramusaji menyajikan piring-piring berisi aneka makanan dengan tampilan menggugah selera. Cara menyajikannya mirip seperti restoran Padang. Semua disajikan di meja dan tinggal kita pilih. Klien saya merekomendasikan mencoba Ikan Patin dengan bumbu tempoyak ( duren yang sudah diinapkan 4 hari dan kemudian dicampur aneka bumbu tradisional seperti cabai, kunyit dan bawang merah ). Rasanya unik.Bau duren yang biasanya menyengat tak terasa karena herbs & spices yang sudah blend in dalam racikan bumbu. Namun saat indra perasa lidah mulai bekerja, asin, manis, pedas dengan aroma khas durian yang samar terasa di dalam mulut..

Selanjutnya saya mencoba Ikan Baung Sungai yang berbumbu kuah berwarna merah menyala. Daging ikan yang lembut dengan kuah beraroma kunyit, bawang merah dan daun jeruk itu terasa asam dan pedas menyegarkan. Di piring sebelah, tersaji Ikan Pantau Garis Goreng. Bentuknya mirip ikan bilis (saya sempat mencari-cari garis pada badan ikan, entah karena sudah menjadi kecoklatan karena digoreng, garisnya tak tampak. Ah, bergaris atau tidak yang penting enak) digoreng dengan diselimuti bumbu cabai merah. Garing, gurih tak terlalu pedas tapi pas. Perut sudah mulai kenyang namun lidah masih ingin bertualang menjelajahi aneka sajian yang tersaji di atas meja. Udang galah panggang yang datang berikutnya membuat lapar mata. Sambal uleg dengan campuran cabai merah, bawang merah dan irisan buah nanas membuat saya lupa niat untuk berdiet berhubung pipi sudah mulai tampak bulat. Kata Klien saya, “Lupakan dietmu disini, di Jakarta saja Kau diet, masih banyak yang enak disini,” katanya tersenyum menyadari dilema saya. Benar saja, semangkok kerang berkuah bening disajikan di hadapan saya. Kerang darah direbus dengan bumbu sederhana seperti bawang putih, bawang merah, cabai rawit dan daun bawang menjadikan kuahnya terasa segar dan ‘tidak berat’. Saya hanya mencicip sedikit karena perut sudah berteriak penuh. Ketika melihat yang lainnya lahap menikmati ayam goreng garing dicocol sambal lengkap dengan sayur lalapnya, saya sudah menyerah. Saya memilih berjalan-jalan sekitar pendopo. Di sekeliling banyak pepohonan yang cukup rindang. Di satu sudut dinding terpajang foto sang pemilik resto dengan beberapa pejabat pemerintahan yang berkunjung kesana. Belakangan saya tahu dari klien saya, banyak orang penting seperti pejabat daerah bahkan menteri-menteri dari Jakarta bila berkunjung ke Pekanbaru tak lupa mampir ke restoran sederhana yang menyajikan masakan tak sederhana ini. Hm, tak rugi saya menolak makanan hotel dan memilih masakan lokal disini.

Tak lama Ibu Yus, menghampiri kami dengan membawa sepiring ubi goreng yang terlihat begitu yummy. Kuning menyala dan masih panas. “ Ini Ubi Janda, makanan penutup favorit pelanggan kami, “ ujarnya ramah. Saya bingung dengan namanya, dan ketika saya tanyakan, katanya tanpa alasan khusus apa-apa, hanya agar mudah diingat saja. Konon, menurut klien saya, banyak orang-orang memesan ubi janda ini untuk dibawa keluar kota bahkan sampai ke luar negeri. Wow. Saya yang terbiasa menikmati minuman yang manis-manis dan dingin sebagai hidangan penutup minta direkomendasikan minuman khas. Datanglah Jus Melayu. Campuran 4 rasa buah favorit saya, Mangga, sirsak, alpukat dan terong belanda. Aduh, minuman ini sungguh enak. Manisnya pas dan segar, tak meninggalkan rasa eneg.

Sambil menikmati hidangan penutup, sang pemilik yang ramah menawarkan diri untuk menyumbangkan suara emasnya menghibur kami. Diiringi keyboard di pendopo seberang, beliau mendendangkan lagu melayu yang saya tak tahu judulnya tapi enak didengar.

Perut kenyang, hati senang. Saya menikmati makan siang penuh warna ini dalam kunjungan singkat di kota Pekanbaru. Walau saya tak sempat bertualang berkeliling kota, paling tidak, lidah saya sempat bertualang mencicipi aneka sajian khas melayu disini dengan suasana yang sangat melayu pula.

Pondok Masakan
Khas Melayu
Jl. Jend. Sudirman/Adi Sucipto
( Dekat Bandara SSK II )
Pekanbaru

Wednesday, February 24, 2010

Tracing the Bygone Era at Tugu








Text & Photo by Mary Sasmiro

Bila Anda juga seperti saya, tertarik pada kisah peranakan etnis Chinese di Indonesia pada masa lalu dan kebetulan sedang berlibur di k
ota Malang ataupun sedang berbisnis trip di kota ini, jangan lewatkan mengunjungi hotel Tugu yang legendaris karena keunikannya. Hotel mirip museum milik Bapak Anhar Setjadibrata, seorang kolektor barang-barang antik ini sudah sering muncul di halaman majalah-majalah travel dalam dan luar negeri. Namun disini saya hanya ingin membahas ruang-ruang yang membuat imajiinasi terbawa ke masa lalu. Masa nenek moyang saya mendarat dan melebur di tanah pertiwi Indonesia.


The Sugar Baron Room-Ruang Sang Raja Gula
Memasuki Ruang Sugar Baron Oei Tiong Ham, seorang raja gula dari Semarang membuat saya terpana. Sebagai penggemar biography kisah tragis tentang Oei Hui Lan, putri tersayang sang raja gula, ruang ini serasa sudah tak terlalu asing. Photo hitam putih Babah Oei yang tampak gagah berwibawa terpajang diatas sebuah meja yang ditata untuk menghormati leluhur. Photo putrinya Oei Hui Lan dengan rambut panjang terurai untuk sebagaian orang mungkin tampak angker tapi menurut saya justru begitu antik dan artistik mengingat foto itu diambil awal tahun 1900an. Kini, photo itu menjadi salah satu daya tarik utama ruangan ini. Tampak pula bingkai photo salah satu istri sang raja gula yang disumbangkan oleh salah satu keturunannya bagi pemilik hotel yang kini melengkapi ruangan ini bersama dengan suratnya. Sebuah meja panjang antik akan membawa Anda membayangkan Sang Sugar Baron makan malam bersama putri tercintanya, wanita pertama Indonesia yang go international di era 1900an. Menguasai 5 bahasa asing, bersuamikan menteri luar negri China yang juga tokoh PBB, menjadi bagian kaum socialite internasional dan tampak riwa-riwi di pesta para bangsawan Eropa. Ia mungkin adalah perempuan pertama di Semarang yang merasakan berkendara mobil. Konon, ia mengalahkan Soong Mei Ling alias Madame Chiang Kai Sek, dalam hal wanita Asia berpakaian terbaik dengan koleksi mantel bulu dan perhiasannya. Photo dirinya berpakain gaun ala art deco dengan kalung mutiara dan tiara, menjadi koleksi Museum Victoria and Albert di London. Sebuah ruang kaca penuh koleksi barang antik yang salah satunya adalah patung Dante yang dipersembahkan Babah Oei untuk Keluarga Tio di Malang turut mempercantik ruangan ini. Berada dalam ruang makan ini serasa dibawa ke masa lalu, makan malam bersama keluarga terkaya di Asia Tenggara di masa lalu lengkap dengan segala keglamouran masa lampau.

The Babah Room-Ruang Nenek Moyang
Bergandengan dengan The Sugar Baron’s Room, adalah the Babah Room yang mengetengahkan ruang gaya China peranakan tahun 1930-an di Jawa. Lemari kaca berisi deretan boneka puppet berkostum China penuh detil sungguh menarik. Di sebuah sudut tampak gambar leluhur masih berkostum pakaian kerajaan era Manchuria . Di sudut lain, ada meja sembahyang yang antik. Foto-foto hitam putih yang mengabadikan kaum cina babah di era lampau lengkap dengan gaya pakaian mereka menghiasi sudut dekat pintu kayu kokoh pemisah ruangan dengan ruang makan Oei Tiong Ham.

Waroeng Shanghai 1920-Warung Nostalgia
Berpindah pada Warung Shanghai 1920, imajinasi saya terbawa pada era tahun 1920an di pelabuhan Batavia. Sebuah bar dengan nama Waroeng Shanghai yang dikelola saudagar asal Shanghai beranama Chan Mo Shang dan istrinya asal betawi Siti Djaenab, dipenuhi oleh tentara-tentara Belanda asyik berminum-minum bercampur dengan saudagar China yang merantau. Foto artis jaman dulu asal Shanghai terpajang manis di dinding bar. Meja dan kursi barnya pun sangat era art deco. Menurut info pegawai hotel, hampir semua barang dalam ruangan tersebut berasal dari warung aslinya, termasuk genteng. Sang pemilik hotel tampaknya tak tanggung-tanggung dalam hal mewujudkan replika nuansa nostalgic dalam hotelnya. Tampak poster film Ca Bau Kan terpajang di salah satu sudut dinding lengkap dengan tanda tangan Nia Dinata sang sutradara. Film yang juga berbicara tentang kehidupan etnis Cina peranakan di Indonesia pada masa lalu itu rasanya pas benar berada di ruangan tersebut.

Toko Ban Lan-Toko Masa Lalu
Sebuah ruangan lain yang di pintu masuknya bertuliskan Ban Lam akan membawa Anda seolah memasuki toko kelontong era lalu. Ruangan ini memamerkan dan menjual sebagian barang-barang antik. Nuansa merahnya sungguh sangat oriental. Almanak Koran tahun 1920 berbahasa Belanda pun terbingai rapih. Signage kayu sebuah toko tua bertulis aksara China, dua patung porselain miniatur berkostum Manchuria dan sebuah kursi cukur kuno adalah sebagian daya tarik utama dalam ruang ini.

Sejarah selalu menarik buat saya, karena tanpa sejarah tak ada apa yang ada di hari ini. Satu jam lebih berkeliling ruangan-ruangan bernuansa Cina peranakan di Hotel Tugu Malang, seolah mesin waktu membawa saya kembali ke era masa lalu dimana masa keemasan budaya Cina memasuki tanah air dan melebur menjadi budaya tersendiri, etnis China peranakan.

Tuesday, February 9, 2010

One Fine Day at The Fisherman Wharf







Text & Photos by Mary SasmirO

San Fransisco, salah satu kota tercantik di Amerika, ternyata tak hanya terkenal dengan Golden Gate-nya yang tersohor. Liburan panjang lalu ketika saya menyempatkan diri berkunjung ke kota itu, yang sampai hari ini masih melekat erat dalam benak adalah ekpresi lugu anak singa laut di Fisherman Wharf.


Beruntung sekali saya menginap di Hotel Westin St. Francis di area Union Square yang lokasinya begitu strategis di jantung kota San Fransisco. Langit cerah San Fransisco dengan semilir angin yang cukup menggigit tulang menyambut saya dan Rika-teman setia traveling saya. Dengan bus tingkat untuk turis berkap terbuka, ala Double Decker di London yang halte-nya pas berada di seberang hotel, kami berdua mulai menjelajah kota. Saya tak akan banyak bercerita tentang Golden Gate atau Chinatown karena mungkin sudah banyak ceritanya. Kami memilih berhenti di Fisherman Wharf yang sudah tersohor sebagai daerah turis favorit. Tak apalah menjadi turis, tapi menikmatinya dengan gaya lokal. Saya dan Rika belakangan memang tak suka berlibur terburu-buru seperti dikejar setoran, jadi kami memilih berjalan sendiri dan bersantai ria menikmati tempat-tempat yang kami kunjungi. Tak diburu waktu, bebas icip-icip local food, bebas lama berphoto ria dan bebas duduk-duduk santai tak perlu digiring seperti anak itik buru-buru masuk bus ketika baru asyik jepret-jepret kamera yang belum panas.

Good Morning Fisherman Wharf
Dan pagi itu, atas rekomendasi seorang teman yang pernah bersekolah dan menetap lama di San Fransisco, kami dianjurkan untuk memulai hari yang cerah di Fisherman Wharf dengan sarapan di In n Out Burger yang sudah terkenal kelezatannya dan porsi yang besar. Kamipun memesan paket menu burger Double-Double. 100% murni daging sapi pilihan dihimpit fresh bun, irisan lettuce segar, 2 lapis American Cheese dan taburan bawang bombay berbumbu ditambah frech fries dan free flow soft drink sungguh nikmat. Saya dan Rika makan seporsi untuk berdua, pas! Bila seorang seporsi, rasanya timbangan kami akan berteriak.

Perut kenyang dan energi pun terkumpul. Kamipun berkeliling asyik menikmati suasana sekitar. Jejeran resto, open air café sampai gerobak makananan yang unik sudah membuat kami mulai berpikir kemana nanti akan lunch. Busyet, betapa lapar matanya kami saat itu! Kami putuskan untuk berkeliling toko-toko di sepanjang jalan. Toko barang antik ala Amerika, toko souvenir, toko permen dan butik-butik casual meramaikan daerah yang memang sarat turis domestik dan internasional itu. Saya menemukan sebuah toko souvenir yang menjual miniatur cable car khas San Fransisco berukuran sedang yang bila diputar akan mengeluarkan lagu klasik Frank Sinatra, “ I left my heart in San Fransisco,” Duh! Andai tak pusing dengan prinsip light traveling karena akan banyak berpindah kota, saya ingin membelinya. Sebuah toko permen yang tampil cantik dengan segala macam permen warna warni menarik minat kami, namun jujur, dari soal rasa, saya masih lebih doyan permen Nano Nano ala Indonesia. American Candy yang dijaja disana, buat kami berdua terlalu manis. Kami juga mampir ke toko coklat Ghirardelli, coklat khas produksi lokal yang sudah melegenda untuk oleh-oleh. Tak terlalu lama kami menghabiskan waktu dengan bershopping ria, karena saya sudah ribut ingin berkeliling sambil memotret.

The Little Food Tour
Begitu banyak café ,resto bahkan gerobak rombong bergaya khas Amerika yang juga menyajikan jajanan khas negara Paman Sam ini seperti hot dog dan burger . Tapi mata saya terpaku pada etalase kaca sebuah bakery yang jelas menampilkan dua orang gadis sedang mengolah adonan roti yang dibentuk model-model unik seperti kura-kura, boneka panda dan bahkan buaya dari balik kaca. Ke-2 gadis itu tersenyum ketika saya beri kode akan diphoto. Sepertinya mereka sudah sangat terbiasa menjadi obyek kamera para turis yang lewat. Kamipun memasuki bakery sekaligus toko yang menjual aneka makanan sampai buku masak bernama Boudin Bakery itu. Interiornya unik, dengan keranjang roti yang berjalan seperti monorail di atas kepala kita. Barang yang dijual pun pasti membuat siapapun yang hobi memasak seperti saya kegirangan. Buku masak, resep baking, aneka perlengkapan dapur modern yang minimalis sampai rustic ada. Belum lagi jejeran olive oil dari yang murni sampai yang diisi cabai dan herbs bertengger rapih. Ternyata Bakery ini sudah begitu tersohor di Fisherman Wharf sejak dulu. Spesialisasinya adalah sourdough bread yang tak lain adalah roti yang rasanya agak masam. Bila belum pernah mendengarnya, jangan kaget bila awalnya bisa berasumsi itu adalah roti basi. Roti yang asyik dicocol kuah panas clam chowder ini memang khas San Fransisco, dan khas Fisherman Wharf tepatnya. Disini, dapat pula memesan kopi panas yang wanginya masih bisa saya bayangkan sampai saat ini.

Entah karena terlalu banyak jalan atau menjadi rakus karena cuaca cukup dingin walau langit cerah, kami sudah mulai lapar lagi. Kami putuskan untuk mencoba makanan khas Fisherman Wharf, Clam Chowder . Sup panas tersaji cantik dalam mangkok roti sourdough. Jadi setelah kuah tersisa sedikit, koreklah bagian bawah mangkok roti yang mulai lembek karena panas kuah itu. Tak ubahnya seperti menikmati kelapa muda dalam batok kelapa. Buat saya yang memang penggemar segala macam cream soup, Clam Chowder yang creamy dan sungguh terasa clam-nya tanpa terasa amis begitu bikin ketagihan. Ada 2 macam soup based Clam Chowder yang tersaji disini, Boston Clam Chowder, soup berbahan dasar susu dan krim dengan potongan kentang, bawang bombay, bacon dan clam-semacam kerang. Warna tampilannya jelas putih dan kental. Manhattan Chowder berkuah lebih clear dengan warna kemerahan karena berbahan dasar tomat. Isi lainnya tak beda dengan Boston Clam Chowder. Merah atau putih, keduanya nikmat disantap. Rika sempat tergoda menyantap Steam Dungeness Crab, kepiting rebus yang berasal dari daerah perairan North America yang tampil berjejer rapih di food stall, tapi batal karena malas makan dengan tangan sambil berdiri. Saya tergoda dengan Seafood Cocktail Salad yang tersaji dalam gelas martini. Sayang mata lapar namun perut kenyang. Bila di Indonesia, kita terbiasa menikmati seafood tersaji panas dengan aneka bumbu, disini, seafood ala barat dinikmati dingin dan dimasak dengan cara sangat sederhana. Alasannya simpel, untuk tetap menjaga rasa aslinya. Yang penting fresh. Mungkin ada benarnya.

Pier 39, Primadona Fisherman Wharf
Mungkin Pier 39, area berhiaskan bendera bertuliskan Pier 39 dan bendera Amerika di sekitar dermaga adalah bagian paling favorit dari kompleks Fisherman Wharf. Tak lain tak bukan karena memang di wilayah ini banyak atraksi dan pemandangan menarik. Dari sini akan terlihat pamandangan khas icon kota San Fransisco nyaris komplit. Golden Gate yang hampir selalu dikelilingi kabut tipis di sekitarnya, penjara Alcatraz yang terletak di sebuah pulau kecil tengah laut tempat mafia legendaris Al Cappone pernah “menginap”, jejeran yacht dan sailing boat berseliweran di San Fransisco Bay, dan yang paling unik menurut saya, kumpulan singa laut liar yang asyik berjemur ria di dek-dek kayu yang disediakan khusus untuk mereka.

Konon ketika gempa dashyat melanda kota San Fransisco tahun 1989, kumpulan singa laut mengungsi di dek-dek sekitar Pier 39. Karena banyak diberi makanan berupa ikan herring oleh para pecinta lingkungan, semakin banyak yang datang dan akhirnya mereka berkembang biak dan sebagian besar menetap disana sementara yang lain berpindah ke laut wilayah selatan ketika musim panas.

Menarik sekali menyaksikan para mahluk coklat yang tambun seperti guling raksasa itu berjemur ria bak turis di Bali. Ada yg mungil dan ada yang bongsor. Bunyi mereka cukup berisik seperti sedang berteriak atau bernyanyi, entahlah. Sekitar dermaga tempat mereka berjemur pun tak bisa dipungkiri lumayan bau karena adanya mereka. Tapi saya dan sesama turis lain tampak tak terlalu terganggu. Kami semua asyik memotret dan menikmati pemandangan di depan kami. Ada singa laut yang jelas-jelas tampak tidur terlentang. Dan tiba-tiba dia terbangun karena seekor anak singa laut lain meloncat melintas di atas perutnya. Tampak ekspresinya seperti tak senang dan mengeluarkan bunyi aneh. Mungkin sedang mengumpat pada si kecil. Ada pula yang seperti sedang tidur berpelukan. Lucu sekali.

Rika asyik memotret sementara saya seperti anak kecil melambai-lambai pada seekor anak singa laut yang terlihat sedang bengong. Langit dan laut yang begitu biru menjadi background para mahluk lucu itu berpose natural. Perahu kecil dan boat yang terparkir rapih seperti hiasan yang melengkapi frame foto. Cantiknya.

Di daerah sini, dibalik tempat kami menyakiskan para singa laut, ada sebuah kompleks yang berisi pertokoan dan café bergaya western yang mengingatkan saya pada setting komik cowboy Lucky Luke. Umumnya toko disana lagi-lagi menjual barang souvenir. Adapula gerai es krim dan café terbuka. Di tengah kompleks ada panggung yang saat itu sedang menampilkan laki-laki muda sedang berakrobat beraksi dengan pisau-pisau terbang diatas sepeda beroda satu. Pengunjung pun bertepuk tangan riuh di jejeran bangku kayu yang disediakan. Hiburan yang pas untuk semua, tua dan muda.

Senja di Fisherman Wharf
Sepanjang jalan saya asyik menikmati Fisherman Wharf sambil memotret. Jejeran boat yang berparkir rapih, burung-burung camar yang asyik bertengger di dermaga, Street performer yang serba bisa dan toko-toko yang cantik dan unik. Langit biru cerah dipadu laut yang tak kalah biru dengan boat dan perahu berlayar putih yang beralalu lalang sungguh pemandangan yang cantik.

Ketika hari mulai larut, langit biru mulai berubah kuning kemerahan. Angin di sekitar dermaga semakin menggigit tulang. Suasana sekitar Fisherman Wharf masih saja ramai. Satu hari berlalu dengan menikmati tempat cantik ini. Membukanya dengan big breakfast ala American, menikmati toko-toko unik, menyantap sup panas dalam mangkok roti, duduk santai di kawasan yang membuat diri serasa tokoh dalam komik Lucky Luke, menikmati musik jalanan dari para street perfomer yang tak asal gonjrang ganjreng gitar seperti pengamen di lampu merah Jakarta, ditutup oleh lambaian selamat jalan pada anak singa laut. Kami berdua berjalan pulang menunggu bus yang akan membawa kami kembali ke Union Square dengan penuh senyum puas. Aneka kenangan manis terekam rapih dalam jepretan kamera dan tercatat rapih dalam ingatan di sebuah permulaan fall season di kota cantik ini.

Quick Fact
1. Belum ada bukti bahwa pernah ada tahanan yang bisa lolos dari penjara Alcatraz yang konon disana semua tahanan diharuskan mandi air panas agar kulitnya tak tahan lagi dengan air laut yang dingin. Di sekitar penjarapun sengaja dipenuhi dengan hiu-hiu ganas. Penjara ini tak digunakan lagi sejak tahun 1964.
2. Manhattan Clam Chowder yang berbahan dasar tomat adalah pengaruh dari bangsa Portugis yang berimigrasi ke Rhode Island di Amerika. Kuliner mereka memang terkenal banyak menggunakan tomat.
3. Ketika gempa besar melanda San Fransisco tahun 1989, dan tingkat pariwisata menurun drastis, Pier 39 dengan kumpulan Singa lautnya cukup memberi kontribusi menarik minat turis kembali ke San Fransisco.
4. Anjing laut dan singa laut tampak mirip. Yang membedakan adalah singa laut memiliki daun telinga dan anjing laut tidak.
5. Fisherman Wharf yang dulunya di era Gold Rush adalah kampung nelayan yang dihuni nelayan dari berbagai Negara, namun didominasi oleh nelayan Italy. Oleh sebab itu masih banyak restoran Italy di area tersebut.

Travel Tips
1. Di jantung kota San Fransico tersedia bus turis yang bisa membawa Anda keliling sekitar kota dan obyek wisata sehari penuh bernama Hop on Hop Off sight seing. Mudah untuk memesannya lewat meja concierge hotel.
2. Jangan lupa mencoba Steam Dungeness Crab yang sakit terkenalnya menjadi symbol kawasan Fisherman Wharf.
3. Tersedia paket tour bersama kapal menuju penjara Alcatraz, antrian umumnya selalu panjang.
4. Di Amerika, harga barang dan makanan yang tercantum belum termasuk pajak. Jadi jangan kaget bila ketika di meja kasir hendak membayar Anda akan dikenakan tambahan pajak sekitar 9.5%.

Monday, February 1, 2010

Lagnaa, Little Barefoot Resto in Little India





Text by Mary Sasmiro
Photo by Mary Sasmiro & M. Tran


Dari namanya saja sudah terdengar unik. Lagnaa adalah salah satu resto yang menyajikan authentic Indian food di kasawan Little India, Singapura. Restoran mungil bertingkat dua ini menyajikan makanan India dari kawasan north and south India dalam kemasan interior sederhana namun cozy. Anda bebas memilih, di lantai bawah duduk manis dengan meja dan kursi biasa, dengan hiasan dinding bertaburan pesan dan kesan serta tanda tangan para pengunjung yang terkesan dengan resto ini, ataupun Anda bisa memilih duduk santai sambil bersila tanpa beralas kaki di lantai dua.

Chef yang menyajikan menu-menu lezat di resto itu bernama unik, cukup dipanggil dengan K-7, menyingkat nama lengkapnya Kaesavan. Sempat mengobrol dengannya, saya direkomendasikan mencoba Indian masala tea, terasa segar namun beraroma spicy. Saya dan teman akhirnya membiarkan K-7 memilihkan menu lunch yang ia rekomendasikan. Akhirnya di meja kami yang mungil, tersaji Palak Panner,-bayam cincang dengan homemade cottage cheese dan pastinya Indian spices, Tredfin Fish Curry yang begitu lembut dengan sajian bumbu rahasia sang juru masak, yang satu ini membuat saya ketagihan. Kami juga menikmati Prawn Tandoori dan Butter Chicken dengan porsi yang pas untuk berdua. Dinikmati bersama Garlic Naan yang masih hangat dan begitu harum, rasanya nikmat sekali.

Setelah selesai menikmati lunch yang agak berat itu, Kumaarrie, seorang wanita India yang ramah pengelola restaurant itu, ia kembali merekomendasikan dessert yang menjadi signature dessert mereka. Saya meminta sesuatu yang light, tidak terlalu creamy karena saya sudah terlalu kenyang rasanya. Tapi the Kulfi Lime, Indian ice cream yang di blend dengan buah limau itu, tersaji begitu cantik dalam buah jeruk utuh, aduh, begitu segar sebagai pencuci mulut. Pas mengakhiri suatu siang yang panas di Little India.

Jika Anda kebetulan mampir ke kawasan perkampungan India di Singapore ini, mungkin boleh mencoba menikmati makanan India otentik dengan suasana santai.

Lagnaa
Barefoot Dining
No.6 Upper Dickson Road
Singapore 207466
Tel. (65) 6296 1215

Friday, January 29, 2010

Little India, Extravaganza Kampung India Penuh Warna







Text by Mary Sasmiro
Photos by Mary Sasmiro & M. Tran


Kawasan Penuh Warna
Little India adalah pusat komunitas warga India di Singapura. Bermula pada sekitar tahun 1819 kala banyak pekerja dan tentara India yang dipekerjakan di Singapura pada era pemerintahan Sir Stamford Raffles, dilanjutkan sampai pada akhir abad 19, semakin banyak warga India berimigrasi ke negara ini untuk mencari pekerjaan sebagai buruh pembangun jalan sampai pada pemegang posisi penting di bidang sipil. Dan saat ini, Little India telah menjadi pusat perkumpulan komunitas warga keturunan India terbesar di Singapura yang juga menarik perhatian turis.

Memasuki kawasan ini, bersiaplah untuk memanjakan indra penciuman dan indra penglihatan Anda karena dari mata memandang, warna-warna yang begitu vibrant di sepanjang jalan baik warna-warna cat gedung pertokoan, kain sari yang bergelantungan, aneka asesories gelang-gelang cantik India yang manis dan eksotis sampai jejeran warna-warna bumbu Indian spices yang begitu menyala akan membuat mata Anda tak lelah menikmati. Dan bau-bau dupa khas India, juga aneka bumbu-bumbu masakan yang dapat tercium di sepanjang jalan pastnya akan membuat Anda merasa serasa berada di dunia lain. Bila itu saja tak cukup, cobalah menyimak seksama dengan telinga Anda, musik-musik soundtrack film-film Bollywood baik yang klasik maupun baru akan selalu berkumandang di sepanjang jalan pertokoan, entah itu suara dari radio butut penjaja pinggir jalan ataupun dari toko CD dan kaset di ujung jalan.

Dari dulu saya tertarik pada segala macam budaya yang saya anggap eksotik, India adalah salah satunya. Warna-warna kain sari dan bau-bau dupa di tengah kota semodern Singapura cukup menarik buat saya. Terkesan kontras.Berjalan kaki sepanjang jalan utama kawasan ini, membuat saya membayangkan sedang berada di India. Bagaimana tidak, begitu banyak wanita ber-sari kadang lengkap dengan sapuan henna di tangannya berjalan santai di kawasan ini. Di tempat lain, seorang laki-laki parobaya bersorban sempat menyenggol saya ketika saya berjalan sambil asyik memotret. Belum lagi memandangi segala poster dan papan nama dengan foto-foto wanita seperti di film-film Bollywood ala Aiswara Rei mejeng menjajakan produk .

The Fussion-Gaya Klasik Peranakan dan Extravaganze India
Dari segi arsitektur, daerah ini juga cukup menarik untuk dinikmati. Gedung-gedung pertokoan bergaya ruko yang disana disebut shophouse, masih terpengaruh gaya khas Singapura, peranakan style, bisa dilihat dari gaya bentuk detil jendela dan atapnya yang klasik. Namun, sangat menarik melihat gaya peranakan yang dipadukan dengan warna-warni terang khas India. Bercampur aduklah warna hijau, merah, kuning, maroon sampai kuning menyala sebagai paduan warna eksterior bangunan dan jendela.Tak ubahnya warna kain sari khas India yang kaya akan vibrant colours. Rasanya tak salah juga jika saya berpendapat, gaya arsitektur gado-gado ini layak disebut Fussion. Kan tak hanya makanan saja yang boleh memakai istilah ini bukan?

Eat and Shop Till Drop!
Jika Anda adalah jenis manusia yang senang disebut a food adventurous, tertarik mencoba jajanan khas India yang namanya membuat lidah terplintir namun rasanya mampu membuat lidah bergoyang, Little India mungkin akan membuat Anda serasa menjadi Anthony Bourdain, Bagaimana tidak, di sepanjang jalan aroma jajanan khas India yang terkenal manis tercium dengan mudahnya. Anda hanya tinggal bereskplorasi. Cobalah Gulap Jamun atau boleh juga Paan. Rasa manis legitnya pas dipadu dengan sedikit Indian spice. Coba pula minuman khas India, saya adalah penggemar teh tarik. Senang melihat bagaimana penyaji teh ini beraksi, bila di dunia barat bartender beraksi semi berakrobat dengan botol-botol alkhohol, disini laki-laki India berkumis tebal berkulit gelap yang mengingatkan saya pada Pak Raden di serial Unyil jaman saya masih juga seumur si Unyil dengan tangkasnya bermain-main dengan dua gelas yang isi tehnya seperti di tarik-tarik. Pokoknya enak. Berjalan tak lama lagi, saya yang kepanasan dan tak henti membasuh peluh yang menetes tak mau kompromi, saya tergoda melihat stand minuman. Beraneka warna, sampai ada minuman berwarna magenta. Terus terang saya tak terlalu tertarik, mengingatkan saya pada warna tinta printer di kantor. Namun saya tergoda mencoba lassi. Minuman dengan dasar bahan yoghurt yang kini diolah modern dengan paduan rasa buah segar ini memang bukan minuman asing buat saya.Namun menyeruput lassi di lingkungan asli warga India, ditengah alunan lagu-lagu India dan melihat banyak wanita ber-sari warna warni bediri di dekat saya, saya entah mengapa merasa lassi ini adalah yang ternikmat yang pernah saya coba. Rasanya sangat India ( padahal saya belum pernah sungguh ke India ).

Setelah perut kembung karena kekenyangan icip-icip, saya terus berjalan menikmati toko-toko. Surga belanja bagi pecinta barang-barang etnik dan unik. Kain sari aneka warna yang dijajakan bergelantungan cantik di depan toko, jejeran gelang-gelang aneka warna khas India, tumpukan kotak-kotak penyimpan perhiasan yang memiliki ornamen khas India penuh warna sampai perlengkapan aromateraphy ala ayurvedic beserta dupa-dupanya mudah ditemui disini. Jangan lewatkan juga melihat gaya perhiasan emas yang begitu berbeda dari isi toko-toko emas yang biasa kita temui di Jakarta. Model-modelnya lebih heboh tapi menarik. Pokoknya manjakan indra penglihatan Anda, disini Anda sepi dari gaya zen living dan minimalis, semuanya tampak extravaganza. Meriah penuh dengan warna dan ornamen.

Hari sudah mulai sore, matahari sudah mulai malas bersinar, kaki saya juga sudah cukup pegal. Keringat saya juga sudah membuat saya ingin cepat pulang ke rumah teman saya dan segera memanjakan diri mandi dengan kucuran shower yang deras dan dingin. Ketika saya mencegat taxi untuk kembali ke daerah River Valley, samar-samar saya masih mendengar alunan musik khas Bollywood, masih samar-samar mencium aroma dupa-dupa khas India. Ketika saya sudah berada di dalam taxi, sekali lagi saya menikmati suasana little India dari balik jendela kaca mobil. Kali ini kunjungan saya ke Singapura memang menjadi lebih berwarna, tak hanya saya habiskan dengan berkeliling-keliling Orchard Rd dan Bugis Junction. Disini, saya serasa sudah mengunjungi sebuat kampung kecil di India yang belum pernah saya kunjungi.

Info
Ada beberapa perayaan dan festival penting yang rutin dirayakan di kawasan little India.
1. Thaipusam, perayaan spektakular membersihkan pikiran. 2. Pongal, perayaan panen dimana para warga India Selatan mempersembakan sesaji untuk mensyukuri hasil masa panen. 3. Navarathiri, yang berarti “ 9 malam”, adalah festival perayaan umat Hindu selama 9 hari dan 10 malam dan dirayakan dengan musik dan tari-tarian. Ditujukan untuk memuja dewi-dewi Hindu seperti Durga ( dewi pelindung dari roh jahat ), Lakshimi ( dewi kemakmuran ) dan Saraswati ( Dewi bijaksana ). 4. Deepavali, suatu peringatan pertempuran antara kebaikan yang menang atas kejahatan. Saat perayaan ini, kawasan little India selama sebulan perayaan, daerah itu menjadi semakin penuh warna.

Tips
Apa yang patut dikunjungi di Little India 1. Kuil Sri Veeramakaliamman 2. Kuil Budha Leon San 3. Mesjid Abdul Gafoor 4. Little India Arcade 5. Toko-toko kembang di little India 6. Toko-toko penjual rempah-rempah India

SENADO SQUARE, Little Food Tour in a Funtastic Little Square




Text and Photo by Mary Sasmiro

Dalam beberapa tahun terakhir ini Macau telah menjadi tujuan wisata kawasan Asia yang patut dijadikan ‘hot destination’. Macau yang dulunya adalah negara kecil koloni Portugis, kini telah kembali ke pangkuan China di tahun 1999. Walaupun mungil, tapi banyak yang bisa ditawarkan oleh Macau selain deretan kasino yang tumbuh menjamur seperti Grand Lisboa, MGM dan the Venetian. Salah satunya adalah Senado Square, alun-alun cantik di kawasan kota, dipenuhi dengan bangunan bernuansa arsitektur Portugis berwarna cerah dominasi warna kuning yang kental. Selain itu alun-alun cantik ini menarik perhatian para turis dengan berbagai deretan toko-toko fashion, kosmetik, resto, café sampai gerai jajanan khas Macau.

Kedai Ice Cream Rasa Eksotis
Dan bila Anda kebetulan adalah seorang penggemar icip-icip makanan baru di negara yang Anda kunjungi. Senado Square cukup memberi warna bagi mini wisata kuliner Anda selama beberapa jam disana. Liburan akhir tahun lalu saya melewatkan tiga hari dua malam di Macau. Dan setiap hari saya berkunjung kesana. Pagi pertama dilewatkan dengan menyantap egg tart yang terkenal. Ternyata egg tart yang disebut Tan Tat ( kue telur dalam bahasa canton ) dimana biasa tersaji dalam menu dessert sajian dim sum di kebanyakan Chinese restaurant ini asalnya dari Macau. Setelah berjalan beberapa puluh langkah mata saya tergoda oleh nampan berisi aneka sate baso seafood yang nantinya akan dicelupkan ke kuah kaldu panas dengan pilihan kuah bening atau Ma La Thang (kuah pedas Ma La ala Sechuan). Hawa Macau yang cukup dingin di bulan Desember rasanya turut mendorong saya mencicipi setusuk. Lidah Indonesia saya memilih Ma La Thang karena terasa lebih pas. Pedasnya membuat bibir terasa panas, entah bumbu apa saja yang ia celupkan disana. Tapi nikmat. Saat panas di bibir belum hilang, mata saya kembali tertuju pada sebuah gerai ice cream di seberang bernama Lemon Cello yang mungil namun cantik, secantik penjaga toko yang pasti blasteran Portugis-China. Nama kedai itu mengingatkan saya pada liquor khas Italia. Banyak pilihan rasa ice cream dan sorbet yang tersedia, dari yang standar seperti Rum Raisin, coklat (uniknya konon rasanya seperti merek coklat ternama Ferrero Roche), moca, blackberry sampai yang terdengar eksotis seperti rasa Ginger, Rose Tea ( saya mencobanya dan memang wangi seperti teh dicelup mawar ), Kiwi, Pink Grapefruit sampai rasa Yakult (ya…Yakult minuman favorit kita itu) dan tentunya sorbet rasa lemon cello yang segar. Dengan $20, $25 dan $35 Anda bisa mencicipi single, double dan triple flavours.

Hari pertama icip-icip di seputar Senado Square sudah cukup mengeyangkan. Acara hari pertama dilanjutkan dengan mengunjungi obyek wisata disekitarnya seperti gereja-gereja kecil namun asri dan bangunan tua seperti reruntuhan Katedral St. Paul yang terbakar ratusan tahun lalu dan hanya menyisakan bagian gerbang yang kini menjadi landmark Macau.

Pasta Fussion Unik Sajian Restoran Sederhana
Pagi ke-2 di Macau saya menyiapkan diri pindah ke hotel baru di kawasan Cotai Strip-The Venetian yang tersohor sebagai replika hotel dan casino dengan nama sama di Las Vegas. Sebelumnya saya memilih kembali ke Senado Square yang dapat saya tempuh dengan berjalan kaki 10 menit saja dari hotel untuk mencari makanan. Saya bosan dengan breakfast ala hotel. Paling tak beda dengan sosis goreng, omelette dan salad. Rasanya kemarin masih banyak yang bisa saya cicipi di Senado Square.

Sebuah resto kecil yang sederhana menarik perhatian saya dengan foto-foto makanan yang ia pajang. Semua tak bisa saya baca, hanya berbahasa mandarin dan Portugis (jangan heran, bahasa Inggris agak langka disini, berhubung Macau bekas koloni Portugis). Namun Bahasa gambar memang universal. Saya tertarik mencoba pasta hitam olahan dari squid ink-tinta cumi-cumi dengan pork chop! Cara memasaknya seperti mi goring lengkap dengan bawang irisan bawang Bombay dan paprika.Wah, Fussion ala Macau. Rasanya tak mengecewakan, porsinya tak sanggup saya habiskan sendirian. Dengah mematok harga $36, untuk ukuran perut perempuan Indonesia rasanya paling pas untuk share ber-2. Saya juga tertarik mencoba minuman ice chocolate peppermint yang di menu bergambar coklat peppermint Cadbury. Entah hanya sebagai gambaran rasa atau memang ada hubungannya dengan brand tersebut. Saat itu saya melihat seorang food writer dari Hong Kong di meja sebelah sedang asyik mewawancarai ibu tua pemilik resto mungil tersebut. Seorang photographer sedang asyik memotret makanan yang disajikan, termasuk menu yang saya pilih tadi. Dalam hati saya berguman,å”Hm, tampaknya saya tidak salah memilih restoran,”

Kenyang menyantap big breakfast yang lebih mirip brunch itu, saya melanjutkan berjalan mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang. Banyak gadis-gadis muda menawarkan tester kue-kue kering khas Macau di depan toko oleh-oleh. Rasanya seperti kue sagu yang bercampur kacang. Wangi dan renyah. Dikemas dengan cantik pula. Pas untuk dibawa menjadi oleh-oleh. Dendeng pun banyak dijajakan disana, lengkap dengan tester yang ditawarkan. Tapi saya kurang tertarik, tampaknya tak jauh beda dengan Bee Cheng Hiang di Jakarta.

Sebelum meninggalkan Senado Square menuju kawasan Cotai Strip, saya menutup acara icip-icip disana dengan mencoba dessert khas Macau. Egg Pudding. Disajikan dingin dalam mangkok sedang dengan tampilan seperti pudding almond, namun agak kekuningan. Rasanya not bad, tapi tak terlalu istimewa. Tak terlalu manis, namun aroma telur bercampur gula dan susu cukup membangkitkan selera walau satu mangkok saja rasanya sangat mengeyangkan.

Saya agak khawatir berat badan bertambah namun rasanya sayang untuk melewatkan acara icip-icip ini. Dalam satu kawasan cantik, banyak sajian baru yang bisa saya nikmati. Trully a satisfying little food tour in a funtastic little square.

* Harga yang tercantum diatas dalam mata uang Macau, Pataca ( MOP ). Kurs biasa kurang lebih sama seperti kurs HKD ke IDR. Saat ini sekitar Rp. 1.500-an.

La Casa Gelato, Pretty in Colours, Exotic in Flavours



Text & Photo by Mary Sasmiro

Siapkan diri Anda mencicipi es krim dengan 218 rasa. Dan biarkan lidah berpetualang menikmati rasa yang tak biasa.

Bila Anda kebetulan berkunjung ke Vancouver-Canada dan Anda seorang pecinta es krim sekaligus petualang rasa, jangan lewatkan gerai es krim bernama La Casa Gelato. Seorang teman yang tinggal di Vancouver menjanjikan saya pasti akan tercengang ketika kesana. Konon rasa yang disajikan aneka rupa dan serba eksotis. Awalnya saya kira paling variasi buah eksotis tropis seperti durian, pomegranate, passionfruit atau paling banter rasa black sesame yang pernah saya cicip di Sydney dulu. Ternyata, salah besar! Ketika tiba di La Casa Gelato, takjub rasanya!Bayangkan, ada 218 ice cream flavours disana. “Two hundreds and eighteen flavours, are you sure?” tanya saya pada signor Vince Misceao lelaki berkumis di usia 50an asli Italia yang ternyata sang empunya gerai es krim super cool ini. Laki-laki ramah itu hanya mengedipkan mata dan tersenyum untuk mengiyakan. Gila!Sayapun kalap menjelajahi segala tampilan warna-warni jejeran ice cream bucket di sepanjang counter es krim sepanjang 10 meter.
Siapkan diri terheran-heran membaca tulisan dibawah setiap bucket ice cream yang mengindikasikan rasa yang ditawarkan. Mulai dari yang standar seperti coklat, capucino, hazelnut, rum raisin dan kawan-kawannya, sampai mata mulai kedip-kedip membaca tulisan, ginger, carrot, basil pernot, portobello mushroom sampai yang paling bikin saya harus membelalakkan mata meyakinkan diri bahwa saya benar membaca tulisan yang tertera di bawah bucket ice cream adalah…CURRY! Istimewanya, di La Casa Gelato yang sudah melegenda di Vancouver ini, pembeli memang bebas mencicipi segala yang ditawarkan disini sampai puas dan bisa memilih flavour yang diinginkan. Penasaran, saya cicipi aneka rasa yang disebut eksotis itu, mulai dari es krim Portobello Mushroom yang rasanya asin tidak, manispun tidak, namun surprisingly, rasa dan aroma jamurnya kental terasa. Curry yang jadi kebanggaan sang empu gerai saya cicip juga dan rasanya tak karuan, namun lidah puas telah mencicip. Rasa rujak buah tersaji dalam Spicy Mango yang alamak pedasnya seperti ada cabe rawit gerus dalam adonan es krim. Penjaga toko tersenyum melihat saya tersedak kaget. Belum lagi Wasabi flavour berwarna hijau yang benar-benar terasa wasabinya, saya sempat iseng ingin memberi ide kenapa tak sekalian dicampur rasa soya, biar seperti teman makan sushi.Namun rasa yang paling tidak masuk akal adalah ice cream garlic flavour alias bawang putih!Duh, seperti menelan bawang putih diblender dan di frozen. Masih banyak lagi jejeran rasa-rasa eksotis yang bikin geleng kepala. Tak sanggup saya ingat semua dari 218 jenis yang tersaji.
Namun tak usah khawatir, disini, rasa-rasa standard yang selalu menjadi favorit klasik tak lupa disajikan, mulai dari coklat, cappuccino, hazelnut, Nutela, tartuffo dan aneka ragam sorbet segar dengan rasa aneka buah.

Sayapun membaca aneka artikel mengenai Vince Misceo, sang pemilik toko sekaligus kreator segala rasa es krim tak masuk akal ini dari berbagai guntingan media cetak yang dibingkai rapih dan digantung di sudut-sudut toko. Saya salut pada Misceo yang bercita-cita menjadi The Number One Ice Cream Maker in North America. Ide-idenya yang orisinil membuat gerainya dikenal dan dijadikan salah satu obyek turis yang berkunjung ke Vancouver.
Walau akhirnya setelah mencicipi lebih dari 10 rasa es krim, saya menjatuhkan pilihan pada es krim rasa “cukup standar” seperti Wild Black Rice alias ketan hitam. Namun, saya takkan lupa lidah ini pernah berpetualang dengan rasa yang tak biasa. Interior dengan aneka gantungan papan hitam berlukiskan landmark-landmark internasional ditambah jajaran wafel cup yang dipajang membuat tempat ini tampil unik selain segala jenis es krim nyentrik aneka warna. Patut dikunjungi bila Anda singgah di Vancouver yang cantik ini. Tak usah ragu berfoto dengan Vince Misceo yang selalu nongkrong di meja kasir. Senyum yang membuat kumisnya bergerak akan menambah manis kenangan Anda di gerai es krim istimewanya itu.

Little Hidden Fact About Ice Cream • Sejarah es krim dimulai berabad-abad lalu ketika kaisar China menggemari salju yang diberi perasa buah dan dilumuri madu, inilah cikal bakal lahirnya sorbet. • Di abad 16 ketika Chaterine de Medici menikah dengan Henry II, ia membawa juru masaknya serta resep sorbet favoritnya ketika ia menjadi Ratu di Prancis. Kemudia di abad 17, Charles I of England membeli formula frozen milk dari juru masak Prancis dan mulai menambahkan telor, dan cream pada es parut. Mungkin inilah cikal bakal es krim sebagai dairy food. • Konon George Washington adalah penggemar sejati es krim yang pernah menghabiskan US$200 untuk jamuan dessert dengan es krim di tahun 1700an. Ia bahkan memiliki mesin pembuat es krim sendiri. • Mesin pembuat es krim diperkenalkan pada abad 19 sekitar tahun 1843 di Inggris dan di Amerika.

Around the World in 80 Bites Bring back my memories, and fly me to the new destination






Text by Mary Sasmiro
Photos taken from the book

Sebagai seorang penggemar traveling, tukang icip-icip makanan and penikmat photography, menemukan buku ini tanpa sengaja di toko buku benar-benar membuat senyum-senyum sendiri.

Around the World in 80 Bites adalah buku yang menarik. Tak hanya menyajikan resep makanan seantero dunia dari 5 benua, namun juga terselip photo-photo negara yang makanannya sedang dibahas. Foto makanannya artistik, photo obyek wisatanya tak kalah bikin angan melayang ingin tour icip-icip jadi pasangan celebrity chef Anthony Bourdain yang keliling dunia untuk fulfill his culinary curiosity.

Kata pembuka dari editor pun menarik untuk dikutip, “The World is a fascinating place, not least because of the diversity of its countries, and their respectives cultures. And if there is one element of a country that typifies its cultural, historical, and social uniqueness, more tellingly than any other, it has to be its food,” Wow! Sungguh The World is on a Plate. Anda setuju?

Membaca buku ini membuat saya teringat pada banyak negara dan kota yang pernah saya kunjungi. Soba, tobiko & scallion yang tersaji cantik dalam sendok mengingatkan saya pada Tokyo. Broiled mussels with herberd beer butter membawa kenangan kembali pada Brussels di musim gugur, Aussie beer battered fish fingers mengingatkan masa-masa ngemil saat kuliah di Sydney. Dan hidup dengan cita-cita satu hari bisa menjadi citizen of the world, buku ini membawa angan untuk mencicipi hidangan khas tiap negara yang satu hari nanti semoga bisa saya kunjungi, Marple Roast Duck akan saya cari di Canada pada destinasi berikut. Irisan daging bebek dioles kecap plus marple syrup khas Canada digulung dalam pancake mini, aduh…pasti nyam-nyam. Angan ke Maroko harus dilengkapi dengan mencicipi Lemon and Couscous stuffed tomatoes. Sehat tanpa kolesterol! Mimpi jadi teman Tintin dalam Tawanan Dewa Matahari di tengah suku Inca di Peru bakal seru dengan sajian eksotis Tuna Ceviche and Mango Phyllo Tartlets. Menikmati Moscow dengan coat military yang chic di area Red Square sambil ngemil
Blinis with Cour Cream and Caviar seru juga. Sebagai penutup, Dessert yang cantik manis, Mini Kiwifruit Pavlovas ketika sedang duduk santai menikmati alam spektakular New Zealand.

Bila Jules Verne bangga dengan novel Around the World in 80 Days-nya, saya cukup bangga dengan memiliki buku ini bertengger di book shelf saya. For me, food truly brings back memories, fly me to new place with its own culture. You even can imagine the aroma of the region by reading the ingredient. Tak harus keliling dunia dengan balon udara, cukup dari piring ke piring.

VICTORIA, A Beautiful Piece of Canada






Text & Photo by Mary Sasmiro

Dua hari menikmati keindahanVictoria telah meninggalkan kenangan manis karena keelokannya, kisah sejarahnya dan landmark-landmark yang begitu ‘breathtaking’. Laut dan langit yang sama biru, taman-taman cantik dipenuhi bunga-bunga aneka warna dan sentuhan “Inggris” yang begitu kental adalah satu paket kenangan yang selamanya akan melakat dalam ingatan.

Setiap tahun saya menyempatkan diri untuk berlibur dan mengunjungi tempat baru, dan tahun ini sampailah saya di East Coast North America. Victoria yang merupakan ibukota British Columbia, salah satu negara bagian Kanada masuk dalam agenda yang saya kunjungi dalam trip kali ini.

Sekilas Victoria
Victoria yang terletak di ujung selatan Vancouver Island kini telah menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Kanada. Konon dalam setahun pengunjung pulau ini diperkirakan mencapai 3,6juta orang!. Saya tak merasa heran karena setelah menikmatinya sendiri, kota cantik ini memang layak dikunjungi. Klasik dan begitu indah.

Sejarah mencatat, orang Eropa pertama kali mendarat di pulau ini di akhir tahun 1700an. Warga Spanyol dan Inggris adalah yang pertama kali mengeksplorasi pulau cantik ini. Kemudian, di tahun 1858 ketika ditemukan emas di tanah British Columbia, Victoria kemudian menjadi pelabuhan dan pusat pertambangan. Populasipun membengkak pesat dari 300 menuju 5000 dalam hitungan hari! Buruh pendatang dari negara seperti Chinapun berdatangan, tak heran Chinatown di Victoria termasuk yang populasinya salah satu terbanyak di wilayah North America selain Vancouver dan San Fransisco.

Karena Kanada adalah koloni Inggris, tak heran nuansa Eropa terlebih Inggris kental terasa di sini. Mulai dari gaya bangunan landmarknya dan kereta kuda untuk turis yang tersedia terkesan sangat klasik Eropa. Sebagai turis, banyak sebetulnya yang bisa diexplore di Victoria, Whale Wacthing alias berlayar menyaksikan paus di laut bebas, outdoor sport seperti kayaking, mengunjungi museum atau hanya berjalan-jalan di seputar downtown dan sekitar dermaga pun menyenangkan. Karena saya tak tertarik watersport dan memang tak bisa, saya memilih yang terakhir.

Hari pertama tiba di Victoria setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam dari downtown Vancouver, mulai dari naik bus dan dilanjutkan naik kapal ferry dan kembali naik bus lagi untuk beberapa saat baru tiba di downtown Victoria, kota ini menyambut saya dengan hujan deras. Saya jengkel setengah mati karena kaki sudah gatal ingin bereksplorasi. Hotel saya, Hotel Victoria berlokasi strategis, dekat sekali dengan landmark-landmark legendaries kota cantik ini. Temperatur sekitar 11 derajat celcius diikuti angin yang menusuk tulang. Saya kaget karena baru kemarin di Vancouver, thermometer menunujukkan 20 derajat. Suhu bisa turun drastis disini. Karena jaket yang saya bawa tak cukup tebal, saya terpaksa menghabiskan sore menyesali hujan dari balkon hotel.

Hari ke-2 hujan terlah berhenti, dan saya tak membuang banyak waktu untuk segera keluar hotel. Berjalan kaki 5 menit dari hotel, saya sudah tiba di daerah wisata utama Victoria dan terkagum-kagum dengan dua landmark cantik yang mengesankan. Gedung Parlemen British Colombia dan Hotel Fairmont Empress yang berlokasi sama-sama menghadap dermaga cantik dengan jejeran yacht putih bagai berbaris rapih.

Impressed by the Empress
Saya selalu mengagumi sesuatu yang berbau klasik dan cantik. Dan hotel tua bernama The Fairmont Empress yang lebih dikenal dengan sebutan The Empress ini sungguh impresif. Terletak di jantung kota Victoria, hotel tua bergaya Edwardian, ala chateau style yang dibangun antara tahun 1904-1908 ini membuat saya tak henti ingin berphoto di depannya. Megah, cantik, anggun, old glamour, ah, you name it. Otak saya mulai korslet. Sekilas saya berkhayal menjadi Audrey Hepburn yang menjadi putri di film Roman Holiday. Saya berkhayal menjadi dirinya dan berganti judul film menjadi the Victorian Holiday. Bangunan megah ala kastil yang di sekeliling eksteriornya dirambati tanaman berjalar dengan taman luas super cantik dengan hamparan bunga warna warni tak heran disebut sebagai salah satu simbol kota Victoria selain Gedung Parlemen bergaya Baroque yang berada di seberangnya. Dibangun oleh arsitek yang sama, arsitek muda berbakat dari Inggris saat itu, Francis Mawson Rattenbury, Hotel Empress, sejak dulu menjadi tempat peristirahatan para bangsawan Eropa dan pejabat-pejabat internasional sampai selebriti yang berkunjung ke Victoria. King George VI, Queen Elizabeth, Shirley Temple masuk dalam A-list guestnya.

Saya sempet masuk dan berkeliling sejenak di dalam hotel. Ah, so classically British. Biarpun tak menginap, tak ada salahnya melewati lobby lounge legendarisnya yang menyajikan classic Edwardian afternoon tea service, dengan menu teh, fresh scones, preserves dan Jersey Cream. Konon, saking legendarisnya, tamu disarankan untuk membuat reservasi 1-2 minggu sebelumnya untuk dapat menikmati ritual high tea ala Edwardian itu walau harus merogoh kocek CAD$70/orang.

Hotel berkamar 477, dengan kamar pilihan menghadap dermaga ataupun taman hotel yang cantik ini, memiliki pula sebuah restoran cantik bernama The Bengal Lounge, saya sempat mengintip. Dengan kombinasi dekorasi Victorian style dan Colonial Indian style ( era dimana Queen Victoria adalah ratu India disaat itu), resto ini sungguh klasik dan unik.

Saya tak bosan menikmati kecantikan hotel ini entah dari luar ataupun dalam gedung. Satu hari nanti, saya bercita-cita menginap disini, tak hanya menikmati dari luar saja, Satu hari nanti, honeymoon saya mungkin, kalau sudah bertemu seseorang yang tepat. Indeed, I was impressed by the Empress.

The Grandeur British Colombia Parliament Building
Belum selesai mengagumi The Empress yang impresif, di seberangnya saya kembali terkagum-kagum dengan kemegahan gedung parlemen British Colombia dengan kombinasi arsitektur bergaya Roman dan detil gaya Baroque.

Free tour disediakan dan Anda cukup mendaftarkan diri di muka pintu utama gedung. Seorang wantia cantik dengan gaun ala jaman Victoria akan menyambut Anda dan mengantar memasuki gedung. Interiornya yang klasik dan cantik sungguh memukau. Sambil menikmati langit-langit penuh lukisan dan ukiran bahkan ada yang dilapis tinta emas, sang tour guide asyik bercerita sekilas mengenai gedung ini. Rombongan turis pun kemudian diajak berkeliling. Dan sampailah kami di depan sebuah ruang yang merupakan the Legislative Chamber, ruang bernuansa merah yang merupakan tempat rapat para anggota legislative negara bagian British Colombia. Cantik oh cantik. Belum lagi di sekitar ruang itu kaca-kaca berhias gambar mosaic membuat sinar matahari yang masuk lebih berwarna.

Konon, Francis Mawson Rattenbury yang seperti saya sebut tadi, arsitek yang juga mendesain The Empress, mempertaruhkan namanya ketika diberi kepercayaan menerima project besar membangun gedung parlemen ini. Ia yang saat itu masih berusia muda harus bisa meyakinkan publik ia mampu. Dan nyatanya, karirnya melesat dengan karya-karya besarnya di Canada yang sampai kini bisa kita nikmati. Detil cantik central Dome berwarna hijau berukir di tengah bangunan gedung mengingatkan saya pada gedung-gedung tua di Roma, dan patung sosok Captain George Vancouver yang terbuat dari perunggu dan berlapis emas membawa ingatan saya pada pucuk salah satu gedung di Grand Palace Square di Brussel yang juga bergaya Baroque. Selera Rattenbury memang sangat terpengaruh masa kejayaan Eropa di masa lampau. Belum lagi taman di depan gedung parlemen yang megah ini begitu cantik dihias bunga-bunga dan sebuah kolam cukup besar dengan air mancur. Indah sekali. Di kala malam, seluruh gedung dihiasi lampu. Tak siang tak malam, gedung ini cuma memberi satu kesan bagi saya. Beautiful.

The Butchart Garden, Flower Lover’s Heaven
Karena sore hari sudah harus kembali ke Vancouver dengan kapal ferry, buru-buru saya penuhi agenda saya di Victoria dengan mengunjungi The Butchart Garden yang legendaris. Taman bunga yang sudah saya dengar dari rekomendasi teman sebagai salah satu tempat yang wajib saya kunjungi bila mampir ke Victoria ini sunggah tak mengecewakan.

Bila Anda adalah pecinta taman dan aneka bunga-bunga cantik, saran saya masukkan Butchart Garden dalam agenda bila Anda berlibur ke Kanada. Aneka tanaman cantik yang ditata dengan apik akan membuat Anda merasa betapa Tuhan begitu maha besar dengan segala karyanya di alam ini. Dibangun di awal abad ini oleh Jennie Butchart bersama suaminya Robert, seorang saudagar kaya yang sering bepergian keliling dunia, kini taman cantik ini telah lama menjadi permata di barat Kanada. Lebih dari 700 jenis bunga dan tanaman tumbuh mekar cantik di taman yang memiliki lima taman utama, Mediterranean Garden, Sunken Garden, Rose Garden, Japanese Garden dan Italian Garden.

Favorit saya sendiri adalah the Rose Garden dan Italian Garden yang terkesan sungguh romantis. Ketika melihat begitu banyak bunga mawar di taman ini, tiba-tiba saya menjadi kangen dengan mami yang telah saya tinggal berlibur hampir sebulan di Jakarta. Sebagai penggemar bunga mawar, pastilah ia akan senang berada disini. Italian Garden lebih romantis lagi, warna bunga-bunganya didominasi warna-warna bold seperti lilac, merah tua dan kuning. Rumput menjalar pada dinding yang dirawat rapih sebagai background sebuah patung perunggu bergaya cupid tampak cantik manis. Belum lagi sebuah kolam cukup panjang yang dikeliling aneka bunga. Mata Anda sungguh dimanja disini.

Memasuki Japanese Garden, sulit untuk merasa diri Anda tidak sedang berada di Jepang. Nuansa serba hijau dan gaya tanaman ala Jepang sungguh membuat Anda seolah sedang berada di taman-taman asri Kyoto atau di Sapporo.

Keluar dari area taman, tampak toko Seed & Gift yang menjual aneka keperluan berkebun yang pasti menjadi toko favorit para pecinta hobi bercocok tanam.

Merogoh kocek sebesar CAD25$ untuk dapat menikmati cantiknya taman ini, saya tak menyesal. Kenangan yang saya rangkai bersama bunga-bunga cantik di taman asri ini last forever. So, it is all worth it.

Good Bye Victoria
Menjelang sore, langit masih cerah. Saya kembali ke downtown Victoria untuk bersiap naik ke bus yang akan membawa saya menuju kapal ferry yang membawa saya kembali ke Vancouver. Saya masih sempat sekali lagi melintasi The Empress, gedung parlemen dan duduk termangu menikmati keindahan dermaga waterfront pulau ini yang cantik. Langit yang sama biru dengan warna air laut, barisan yacht putih yang parkir rapih di dermaga dan kereta kuda ditarik kuda putih yang gagah sekaligus anggun melekat erat dalam ingatan saya sampai hari ini. Keindahan Victoria di penghujung musim panas lalu akan saya simpan rapih dalam kenangan. Ketika kapal ferry membawa saya meninggalkan Victoria yang cantik itu, dalam hati saya berbisik, suatu hari nanti saya pasti akan kembali. Mungkin menikmatinya di musim yang berbeda, ketika salju menyelimuti pucuk-pucuk tanaman di Butchart Garden, ketika hamparan salju menjadi karpet yang menyambut saya di depan pintu the Empress dan ketika saya akan mengelilingi kota dengan coat tebal diatas kereta kuda. Satu hari nanti saya ingin kembali untuk mewujudkan khayalan indah saya di sini.

Travel Info: • Bila mengunjungi Victoria sendirian tanpa mengikuti tour, belilah tiket bus yang sudah sepaket dengan biaya kapal ferry. Sekitar CAD$89 return tiket. Bus berangkat dari kawasan downtown Vancouver. Lebih praktis dan ekonomis. • Bila waktu sangat singkat dan lebih memilih tour lokal, di internet banyak tersedia info atau dapat memesan tour di meja concierge hotel-hotel besar di downtown Vancouver seperti The Fairmount atau Holiday Inn. • Cuaca di Canada pada umumnya bisa berubah cukup drastis antara siang dan malam. Bila hujan turun dan disertai angin, cuaca bisa menjadi tiba-tiba sangat dingin. Jangan lupa membawa jaket tahan angin karena di dekat daerah laut umumnya angin cukup kencang. • Victoria tak banyak menyajikan makanan yang menarik dibanding Vancouver, resto yang ada pun tak buka sampai larut malam, Bila Anda suka ngemil di malam hari, bawalah bekal cemilan sendiri.