Friday, January 29, 2010

Little India, Extravaganza Kampung India Penuh Warna







Text by Mary Sasmiro
Photos by Mary Sasmiro & M. Tran


Kawasan Penuh Warna
Little India adalah pusat komunitas warga India di Singapura. Bermula pada sekitar tahun 1819 kala banyak pekerja dan tentara India yang dipekerjakan di Singapura pada era pemerintahan Sir Stamford Raffles, dilanjutkan sampai pada akhir abad 19, semakin banyak warga India berimigrasi ke negara ini untuk mencari pekerjaan sebagai buruh pembangun jalan sampai pada pemegang posisi penting di bidang sipil. Dan saat ini, Little India telah menjadi pusat perkumpulan komunitas warga keturunan India terbesar di Singapura yang juga menarik perhatian turis.

Memasuki kawasan ini, bersiaplah untuk memanjakan indra penciuman dan indra penglihatan Anda karena dari mata memandang, warna-warna yang begitu vibrant di sepanjang jalan baik warna-warna cat gedung pertokoan, kain sari yang bergelantungan, aneka asesories gelang-gelang cantik India yang manis dan eksotis sampai jejeran warna-warna bumbu Indian spices yang begitu menyala akan membuat mata Anda tak lelah menikmati. Dan bau-bau dupa khas India, juga aneka bumbu-bumbu masakan yang dapat tercium di sepanjang jalan pastnya akan membuat Anda merasa serasa berada di dunia lain. Bila itu saja tak cukup, cobalah menyimak seksama dengan telinga Anda, musik-musik soundtrack film-film Bollywood baik yang klasik maupun baru akan selalu berkumandang di sepanjang jalan pertokoan, entah itu suara dari radio butut penjaja pinggir jalan ataupun dari toko CD dan kaset di ujung jalan.

Dari dulu saya tertarik pada segala macam budaya yang saya anggap eksotik, India adalah salah satunya. Warna-warna kain sari dan bau-bau dupa di tengah kota semodern Singapura cukup menarik buat saya. Terkesan kontras.Berjalan kaki sepanjang jalan utama kawasan ini, membuat saya membayangkan sedang berada di India. Bagaimana tidak, begitu banyak wanita ber-sari kadang lengkap dengan sapuan henna di tangannya berjalan santai di kawasan ini. Di tempat lain, seorang laki-laki parobaya bersorban sempat menyenggol saya ketika saya berjalan sambil asyik memotret. Belum lagi memandangi segala poster dan papan nama dengan foto-foto wanita seperti di film-film Bollywood ala Aiswara Rei mejeng menjajakan produk .

The Fussion-Gaya Klasik Peranakan dan Extravaganze India
Dari segi arsitektur, daerah ini juga cukup menarik untuk dinikmati. Gedung-gedung pertokoan bergaya ruko yang disana disebut shophouse, masih terpengaruh gaya khas Singapura, peranakan style, bisa dilihat dari gaya bentuk detil jendela dan atapnya yang klasik. Namun, sangat menarik melihat gaya peranakan yang dipadukan dengan warna-warni terang khas India. Bercampur aduklah warna hijau, merah, kuning, maroon sampai kuning menyala sebagai paduan warna eksterior bangunan dan jendela.Tak ubahnya warna kain sari khas India yang kaya akan vibrant colours. Rasanya tak salah juga jika saya berpendapat, gaya arsitektur gado-gado ini layak disebut Fussion. Kan tak hanya makanan saja yang boleh memakai istilah ini bukan?

Eat and Shop Till Drop!
Jika Anda adalah jenis manusia yang senang disebut a food adventurous, tertarik mencoba jajanan khas India yang namanya membuat lidah terplintir namun rasanya mampu membuat lidah bergoyang, Little India mungkin akan membuat Anda serasa menjadi Anthony Bourdain, Bagaimana tidak, di sepanjang jalan aroma jajanan khas India yang terkenal manis tercium dengan mudahnya. Anda hanya tinggal bereskplorasi. Cobalah Gulap Jamun atau boleh juga Paan. Rasa manis legitnya pas dipadu dengan sedikit Indian spice. Coba pula minuman khas India, saya adalah penggemar teh tarik. Senang melihat bagaimana penyaji teh ini beraksi, bila di dunia barat bartender beraksi semi berakrobat dengan botol-botol alkhohol, disini laki-laki India berkumis tebal berkulit gelap yang mengingatkan saya pada Pak Raden di serial Unyil jaman saya masih juga seumur si Unyil dengan tangkasnya bermain-main dengan dua gelas yang isi tehnya seperti di tarik-tarik. Pokoknya enak. Berjalan tak lama lagi, saya yang kepanasan dan tak henti membasuh peluh yang menetes tak mau kompromi, saya tergoda melihat stand minuman. Beraneka warna, sampai ada minuman berwarna magenta. Terus terang saya tak terlalu tertarik, mengingatkan saya pada warna tinta printer di kantor. Namun saya tergoda mencoba lassi. Minuman dengan dasar bahan yoghurt yang kini diolah modern dengan paduan rasa buah segar ini memang bukan minuman asing buat saya.Namun menyeruput lassi di lingkungan asli warga India, ditengah alunan lagu-lagu India dan melihat banyak wanita ber-sari warna warni bediri di dekat saya, saya entah mengapa merasa lassi ini adalah yang ternikmat yang pernah saya coba. Rasanya sangat India ( padahal saya belum pernah sungguh ke India ).

Setelah perut kembung karena kekenyangan icip-icip, saya terus berjalan menikmati toko-toko. Surga belanja bagi pecinta barang-barang etnik dan unik. Kain sari aneka warna yang dijajakan bergelantungan cantik di depan toko, jejeran gelang-gelang aneka warna khas India, tumpukan kotak-kotak penyimpan perhiasan yang memiliki ornamen khas India penuh warna sampai perlengkapan aromateraphy ala ayurvedic beserta dupa-dupanya mudah ditemui disini. Jangan lewatkan juga melihat gaya perhiasan emas yang begitu berbeda dari isi toko-toko emas yang biasa kita temui di Jakarta. Model-modelnya lebih heboh tapi menarik. Pokoknya manjakan indra penglihatan Anda, disini Anda sepi dari gaya zen living dan minimalis, semuanya tampak extravaganza. Meriah penuh dengan warna dan ornamen.

Hari sudah mulai sore, matahari sudah mulai malas bersinar, kaki saya juga sudah cukup pegal. Keringat saya juga sudah membuat saya ingin cepat pulang ke rumah teman saya dan segera memanjakan diri mandi dengan kucuran shower yang deras dan dingin. Ketika saya mencegat taxi untuk kembali ke daerah River Valley, samar-samar saya masih mendengar alunan musik khas Bollywood, masih samar-samar mencium aroma dupa-dupa khas India. Ketika saya sudah berada di dalam taxi, sekali lagi saya menikmati suasana little India dari balik jendela kaca mobil. Kali ini kunjungan saya ke Singapura memang menjadi lebih berwarna, tak hanya saya habiskan dengan berkeliling-keliling Orchard Rd dan Bugis Junction. Disini, saya serasa sudah mengunjungi sebuat kampung kecil di India yang belum pernah saya kunjungi.

Info
Ada beberapa perayaan dan festival penting yang rutin dirayakan di kawasan little India.
1. Thaipusam, perayaan spektakular membersihkan pikiran. 2. Pongal, perayaan panen dimana para warga India Selatan mempersembakan sesaji untuk mensyukuri hasil masa panen. 3. Navarathiri, yang berarti “ 9 malam”, adalah festival perayaan umat Hindu selama 9 hari dan 10 malam dan dirayakan dengan musik dan tari-tarian. Ditujukan untuk memuja dewi-dewi Hindu seperti Durga ( dewi pelindung dari roh jahat ), Lakshimi ( dewi kemakmuran ) dan Saraswati ( Dewi bijaksana ). 4. Deepavali, suatu peringatan pertempuran antara kebaikan yang menang atas kejahatan. Saat perayaan ini, kawasan little India selama sebulan perayaan, daerah itu menjadi semakin penuh warna.

Tips
Apa yang patut dikunjungi di Little India 1. Kuil Sri Veeramakaliamman 2. Kuil Budha Leon San 3. Mesjid Abdul Gafoor 4. Little India Arcade 5. Toko-toko kembang di little India 6. Toko-toko penjual rempah-rempah India

SENADO SQUARE, Little Food Tour in a Funtastic Little Square




Text and Photo by Mary Sasmiro

Dalam beberapa tahun terakhir ini Macau telah menjadi tujuan wisata kawasan Asia yang patut dijadikan ‘hot destination’. Macau yang dulunya adalah negara kecil koloni Portugis, kini telah kembali ke pangkuan China di tahun 1999. Walaupun mungil, tapi banyak yang bisa ditawarkan oleh Macau selain deretan kasino yang tumbuh menjamur seperti Grand Lisboa, MGM dan the Venetian. Salah satunya adalah Senado Square, alun-alun cantik di kawasan kota, dipenuhi dengan bangunan bernuansa arsitektur Portugis berwarna cerah dominasi warna kuning yang kental. Selain itu alun-alun cantik ini menarik perhatian para turis dengan berbagai deretan toko-toko fashion, kosmetik, resto, café sampai gerai jajanan khas Macau.

Kedai Ice Cream Rasa Eksotis
Dan bila Anda kebetulan adalah seorang penggemar icip-icip makanan baru di negara yang Anda kunjungi. Senado Square cukup memberi warna bagi mini wisata kuliner Anda selama beberapa jam disana. Liburan akhir tahun lalu saya melewatkan tiga hari dua malam di Macau. Dan setiap hari saya berkunjung kesana. Pagi pertama dilewatkan dengan menyantap egg tart yang terkenal. Ternyata egg tart yang disebut Tan Tat ( kue telur dalam bahasa canton ) dimana biasa tersaji dalam menu dessert sajian dim sum di kebanyakan Chinese restaurant ini asalnya dari Macau. Setelah berjalan beberapa puluh langkah mata saya tergoda oleh nampan berisi aneka sate baso seafood yang nantinya akan dicelupkan ke kuah kaldu panas dengan pilihan kuah bening atau Ma La Thang (kuah pedas Ma La ala Sechuan). Hawa Macau yang cukup dingin di bulan Desember rasanya turut mendorong saya mencicipi setusuk. Lidah Indonesia saya memilih Ma La Thang karena terasa lebih pas. Pedasnya membuat bibir terasa panas, entah bumbu apa saja yang ia celupkan disana. Tapi nikmat. Saat panas di bibir belum hilang, mata saya kembali tertuju pada sebuah gerai ice cream di seberang bernama Lemon Cello yang mungil namun cantik, secantik penjaga toko yang pasti blasteran Portugis-China. Nama kedai itu mengingatkan saya pada liquor khas Italia. Banyak pilihan rasa ice cream dan sorbet yang tersedia, dari yang standar seperti Rum Raisin, coklat (uniknya konon rasanya seperti merek coklat ternama Ferrero Roche), moca, blackberry sampai yang terdengar eksotis seperti rasa Ginger, Rose Tea ( saya mencobanya dan memang wangi seperti teh dicelup mawar ), Kiwi, Pink Grapefruit sampai rasa Yakult (ya…Yakult minuman favorit kita itu) dan tentunya sorbet rasa lemon cello yang segar. Dengan $20, $25 dan $35 Anda bisa mencicipi single, double dan triple flavours.

Hari pertama icip-icip di seputar Senado Square sudah cukup mengeyangkan. Acara hari pertama dilanjutkan dengan mengunjungi obyek wisata disekitarnya seperti gereja-gereja kecil namun asri dan bangunan tua seperti reruntuhan Katedral St. Paul yang terbakar ratusan tahun lalu dan hanya menyisakan bagian gerbang yang kini menjadi landmark Macau.

Pasta Fussion Unik Sajian Restoran Sederhana
Pagi ke-2 di Macau saya menyiapkan diri pindah ke hotel baru di kawasan Cotai Strip-The Venetian yang tersohor sebagai replika hotel dan casino dengan nama sama di Las Vegas. Sebelumnya saya memilih kembali ke Senado Square yang dapat saya tempuh dengan berjalan kaki 10 menit saja dari hotel untuk mencari makanan. Saya bosan dengan breakfast ala hotel. Paling tak beda dengan sosis goreng, omelette dan salad. Rasanya kemarin masih banyak yang bisa saya cicipi di Senado Square.

Sebuah resto kecil yang sederhana menarik perhatian saya dengan foto-foto makanan yang ia pajang. Semua tak bisa saya baca, hanya berbahasa mandarin dan Portugis (jangan heran, bahasa Inggris agak langka disini, berhubung Macau bekas koloni Portugis). Namun Bahasa gambar memang universal. Saya tertarik mencoba pasta hitam olahan dari squid ink-tinta cumi-cumi dengan pork chop! Cara memasaknya seperti mi goring lengkap dengan bawang irisan bawang Bombay dan paprika.Wah, Fussion ala Macau. Rasanya tak mengecewakan, porsinya tak sanggup saya habiskan sendirian. Dengah mematok harga $36, untuk ukuran perut perempuan Indonesia rasanya paling pas untuk share ber-2. Saya juga tertarik mencoba minuman ice chocolate peppermint yang di menu bergambar coklat peppermint Cadbury. Entah hanya sebagai gambaran rasa atau memang ada hubungannya dengan brand tersebut. Saat itu saya melihat seorang food writer dari Hong Kong di meja sebelah sedang asyik mewawancarai ibu tua pemilik resto mungil tersebut. Seorang photographer sedang asyik memotret makanan yang disajikan, termasuk menu yang saya pilih tadi. Dalam hati saya berguman,å”Hm, tampaknya saya tidak salah memilih restoran,”

Kenyang menyantap big breakfast yang lebih mirip brunch itu, saya melanjutkan berjalan mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang. Banyak gadis-gadis muda menawarkan tester kue-kue kering khas Macau di depan toko oleh-oleh. Rasanya seperti kue sagu yang bercampur kacang. Wangi dan renyah. Dikemas dengan cantik pula. Pas untuk dibawa menjadi oleh-oleh. Dendeng pun banyak dijajakan disana, lengkap dengan tester yang ditawarkan. Tapi saya kurang tertarik, tampaknya tak jauh beda dengan Bee Cheng Hiang di Jakarta.

Sebelum meninggalkan Senado Square menuju kawasan Cotai Strip, saya menutup acara icip-icip disana dengan mencoba dessert khas Macau. Egg Pudding. Disajikan dingin dalam mangkok sedang dengan tampilan seperti pudding almond, namun agak kekuningan. Rasanya not bad, tapi tak terlalu istimewa. Tak terlalu manis, namun aroma telur bercampur gula dan susu cukup membangkitkan selera walau satu mangkok saja rasanya sangat mengeyangkan.

Saya agak khawatir berat badan bertambah namun rasanya sayang untuk melewatkan acara icip-icip ini. Dalam satu kawasan cantik, banyak sajian baru yang bisa saya nikmati. Trully a satisfying little food tour in a funtastic little square.

* Harga yang tercantum diatas dalam mata uang Macau, Pataca ( MOP ). Kurs biasa kurang lebih sama seperti kurs HKD ke IDR. Saat ini sekitar Rp. 1.500-an.

La Casa Gelato, Pretty in Colours, Exotic in Flavours



Text & Photo by Mary Sasmiro

Siapkan diri Anda mencicipi es krim dengan 218 rasa. Dan biarkan lidah berpetualang menikmati rasa yang tak biasa.

Bila Anda kebetulan berkunjung ke Vancouver-Canada dan Anda seorang pecinta es krim sekaligus petualang rasa, jangan lewatkan gerai es krim bernama La Casa Gelato. Seorang teman yang tinggal di Vancouver menjanjikan saya pasti akan tercengang ketika kesana. Konon rasa yang disajikan aneka rupa dan serba eksotis. Awalnya saya kira paling variasi buah eksotis tropis seperti durian, pomegranate, passionfruit atau paling banter rasa black sesame yang pernah saya cicip di Sydney dulu. Ternyata, salah besar! Ketika tiba di La Casa Gelato, takjub rasanya!Bayangkan, ada 218 ice cream flavours disana. “Two hundreds and eighteen flavours, are you sure?” tanya saya pada signor Vince Misceao lelaki berkumis di usia 50an asli Italia yang ternyata sang empunya gerai es krim super cool ini. Laki-laki ramah itu hanya mengedipkan mata dan tersenyum untuk mengiyakan. Gila!Sayapun kalap menjelajahi segala tampilan warna-warni jejeran ice cream bucket di sepanjang counter es krim sepanjang 10 meter.
Siapkan diri terheran-heran membaca tulisan dibawah setiap bucket ice cream yang mengindikasikan rasa yang ditawarkan. Mulai dari yang standar seperti coklat, capucino, hazelnut, rum raisin dan kawan-kawannya, sampai mata mulai kedip-kedip membaca tulisan, ginger, carrot, basil pernot, portobello mushroom sampai yang paling bikin saya harus membelalakkan mata meyakinkan diri bahwa saya benar membaca tulisan yang tertera di bawah bucket ice cream adalah…CURRY! Istimewanya, di La Casa Gelato yang sudah melegenda di Vancouver ini, pembeli memang bebas mencicipi segala yang ditawarkan disini sampai puas dan bisa memilih flavour yang diinginkan. Penasaran, saya cicipi aneka rasa yang disebut eksotis itu, mulai dari es krim Portobello Mushroom yang rasanya asin tidak, manispun tidak, namun surprisingly, rasa dan aroma jamurnya kental terasa. Curry yang jadi kebanggaan sang empu gerai saya cicip juga dan rasanya tak karuan, namun lidah puas telah mencicip. Rasa rujak buah tersaji dalam Spicy Mango yang alamak pedasnya seperti ada cabe rawit gerus dalam adonan es krim. Penjaga toko tersenyum melihat saya tersedak kaget. Belum lagi Wasabi flavour berwarna hijau yang benar-benar terasa wasabinya, saya sempat iseng ingin memberi ide kenapa tak sekalian dicampur rasa soya, biar seperti teman makan sushi.Namun rasa yang paling tidak masuk akal adalah ice cream garlic flavour alias bawang putih!Duh, seperti menelan bawang putih diblender dan di frozen. Masih banyak lagi jejeran rasa-rasa eksotis yang bikin geleng kepala. Tak sanggup saya ingat semua dari 218 jenis yang tersaji.
Namun tak usah khawatir, disini, rasa-rasa standard yang selalu menjadi favorit klasik tak lupa disajikan, mulai dari coklat, cappuccino, hazelnut, Nutela, tartuffo dan aneka ragam sorbet segar dengan rasa aneka buah.

Sayapun membaca aneka artikel mengenai Vince Misceo, sang pemilik toko sekaligus kreator segala rasa es krim tak masuk akal ini dari berbagai guntingan media cetak yang dibingkai rapih dan digantung di sudut-sudut toko. Saya salut pada Misceo yang bercita-cita menjadi The Number One Ice Cream Maker in North America. Ide-idenya yang orisinil membuat gerainya dikenal dan dijadikan salah satu obyek turis yang berkunjung ke Vancouver.
Walau akhirnya setelah mencicipi lebih dari 10 rasa es krim, saya menjatuhkan pilihan pada es krim rasa “cukup standar” seperti Wild Black Rice alias ketan hitam. Namun, saya takkan lupa lidah ini pernah berpetualang dengan rasa yang tak biasa. Interior dengan aneka gantungan papan hitam berlukiskan landmark-landmark internasional ditambah jajaran wafel cup yang dipajang membuat tempat ini tampil unik selain segala jenis es krim nyentrik aneka warna. Patut dikunjungi bila Anda singgah di Vancouver yang cantik ini. Tak usah ragu berfoto dengan Vince Misceo yang selalu nongkrong di meja kasir. Senyum yang membuat kumisnya bergerak akan menambah manis kenangan Anda di gerai es krim istimewanya itu.

Little Hidden Fact About Ice Cream • Sejarah es krim dimulai berabad-abad lalu ketika kaisar China menggemari salju yang diberi perasa buah dan dilumuri madu, inilah cikal bakal lahirnya sorbet. • Di abad 16 ketika Chaterine de Medici menikah dengan Henry II, ia membawa juru masaknya serta resep sorbet favoritnya ketika ia menjadi Ratu di Prancis. Kemudia di abad 17, Charles I of England membeli formula frozen milk dari juru masak Prancis dan mulai menambahkan telor, dan cream pada es parut. Mungkin inilah cikal bakal es krim sebagai dairy food. • Konon George Washington adalah penggemar sejati es krim yang pernah menghabiskan US$200 untuk jamuan dessert dengan es krim di tahun 1700an. Ia bahkan memiliki mesin pembuat es krim sendiri. • Mesin pembuat es krim diperkenalkan pada abad 19 sekitar tahun 1843 di Inggris dan di Amerika.

Around the World in 80 Bites Bring back my memories, and fly me to the new destination






Text by Mary Sasmiro
Photos taken from the book

Sebagai seorang penggemar traveling, tukang icip-icip makanan and penikmat photography, menemukan buku ini tanpa sengaja di toko buku benar-benar membuat senyum-senyum sendiri.

Around the World in 80 Bites adalah buku yang menarik. Tak hanya menyajikan resep makanan seantero dunia dari 5 benua, namun juga terselip photo-photo negara yang makanannya sedang dibahas. Foto makanannya artistik, photo obyek wisatanya tak kalah bikin angan melayang ingin tour icip-icip jadi pasangan celebrity chef Anthony Bourdain yang keliling dunia untuk fulfill his culinary curiosity.

Kata pembuka dari editor pun menarik untuk dikutip, “The World is a fascinating place, not least because of the diversity of its countries, and their respectives cultures. And if there is one element of a country that typifies its cultural, historical, and social uniqueness, more tellingly than any other, it has to be its food,” Wow! Sungguh The World is on a Plate. Anda setuju?

Membaca buku ini membuat saya teringat pada banyak negara dan kota yang pernah saya kunjungi. Soba, tobiko & scallion yang tersaji cantik dalam sendok mengingatkan saya pada Tokyo. Broiled mussels with herberd beer butter membawa kenangan kembali pada Brussels di musim gugur, Aussie beer battered fish fingers mengingatkan masa-masa ngemil saat kuliah di Sydney. Dan hidup dengan cita-cita satu hari bisa menjadi citizen of the world, buku ini membawa angan untuk mencicipi hidangan khas tiap negara yang satu hari nanti semoga bisa saya kunjungi, Marple Roast Duck akan saya cari di Canada pada destinasi berikut. Irisan daging bebek dioles kecap plus marple syrup khas Canada digulung dalam pancake mini, aduh…pasti nyam-nyam. Angan ke Maroko harus dilengkapi dengan mencicipi Lemon and Couscous stuffed tomatoes. Sehat tanpa kolesterol! Mimpi jadi teman Tintin dalam Tawanan Dewa Matahari di tengah suku Inca di Peru bakal seru dengan sajian eksotis Tuna Ceviche and Mango Phyllo Tartlets. Menikmati Moscow dengan coat military yang chic di area Red Square sambil ngemil
Blinis with Cour Cream and Caviar seru juga. Sebagai penutup, Dessert yang cantik manis, Mini Kiwifruit Pavlovas ketika sedang duduk santai menikmati alam spektakular New Zealand.

Bila Jules Verne bangga dengan novel Around the World in 80 Days-nya, saya cukup bangga dengan memiliki buku ini bertengger di book shelf saya. For me, food truly brings back memories, fly me to new place with its own culture. You even can imagine the aroma of the region by reading the ingredient. Tak harus keliling dunia dengan balon udara, cukup dari piring ke piring.

VICTORIA, A Beautiful Piece of Canada






Text & Photo by Mary Sasmiro

Dua hari menikmati keindahanVictoria telah meninggalkan kenangan manis karena keelokannya, kisah sejarahnya dan landmark-landmark yang begitu ‘breathtaking’. Laut dan langit yang sama biru, taman-taman cantik dipenuhi bunga-bunga aneka warna dan sentuhan “Inggris” yang begitu kental adalah satu paket kenangan yang selamanya akan melakat dalam ingatan.

Setiap tahun saya menyempatkan diri untuk berlibur dan mengunjungi tempat baru, dan tahun ini sampailah saya di East Coast North America. Victoria yang merupakan ibukota British Columbia, salah satu negara bagian Kanada masuk dalam agenda yang saya kunjungi dalam trip kali ini.

Sekilas Victoria
Victoria yang terletak di ujung selatan Vancouver Island kini telah menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Kanada. Konon dalam setahun pengunjung pulau ini diperkirakan mencapai 3,6juta orang!. Saya tak merasa heran karena setelah menikmatinya sendiri, kota cantik ini memang layak dikunjungi. Klasik dan begitu indah.

Sejarah mencatat, orang Eropa pertama kali mendarat di pulau ini di akhir tahun 1700an. Warga Spanyol dan Inggris adalah yang pertama kali mengeksplorasi pulau cantik ini. Kemudian, di tahun 1858 ketika ditemukan emas di tanah British Columbia, Victoria kemudian menjadi pelabuhan dan pusat pertambangan. Populasipun membengkak pesat dari 300 menuju 5000 dalam hitungan hari! Buruh pendatang dari negara seperti Chinapun berdatangan, tak heran Chinatown di Victoria termasuk yang populasinya salah satu terbanyak di wilayah North America selain Vancouver dan San Fransisco.

Karena Kanada adalah koloni Inggris, tak heran nuansa Eropa terlebih Inggris kental terasa di sini. Mulai dari gaya bangunan landmarknya dan kereta kuda untuk turis yang tersedia terkesan sangat klasik Eropa. Sebagai turis, banyak sebetulnya yang bisa diexplore di Victoria, Whale Wacthing alias berlayar menyaksikan paus di laut bebas, outdoor sport seperti kayaking, mengunjungi museum atau hanya berjalan-jalan di seputar downtown dan sekitar dermaga pun menyenangkan. Karena saya tak tertarik watersport dan memang tak bisa, saya memilih yang terakhir.

Hari pertama tiba di Victoria setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam dari downtown Vancouver, mulai dari naik bus dan dilanjutkan naik kapal ferry dan kembali naik bus lagi untuk beberapa saat baru tiba di downtown Victoria, kota ini menyambut saya dengan hujan deras. Saya jengkel setengah mati karena kaki sudah gatal ingin bereksplorasi. Hotel saya, Hotel Victoria berlokasi strategis, dekat sekali dengan landmark-landmark legendaries kota cantik ini. Temperatur sekitar 11 derajat celcius diikuti angin yang menusuk tulang. Saya kaget karena baru kemarin di Vancouver, thermometer menunujukkan 20 derajat. Suhu bisa turun drastis disini. Karena jaket yang saya bawa tak cukup tebal, saya terpaksa menghabiskan sore menyesali hujan dari balkon hotel.

Hari ke-2 hujan terlah berhenti, dan saya tak membuang banyak waktu untuk segera keluar hotel. Berjalan kaki 5 menit dari hotel, saya sudah tiba di daerah wisata utama Victoria dan terkagum-kagum dengan dua landmark cantik yang mengesankan. Gedung Parlemen British Colombia dan Hotel Fairmont Empress yang berlokasi sama-sama menghadap dermaga cantik dengan jejeran yacht putih bagai berbaris rapih.

Impressed by the Empress
Saya selalu mengagumi sesuatu yang berbau klasik dan cantik. Dan hotel tua bernama The Fairmont Empress yang lebih dikenal dengan sebutan The Empress ini sungguh impresif. Terletak di jantung kota Victoria, hotel tua bergaya Edwardian, ala chateau style yang dibangun antara tahun 1904-1908 ini membuat saya tak henti ingin berphoto di depannya. Megah, cantik, anggun, old glamour, ah, you name it. Otak saya mulai korslet. Sekilas saya berkhayal menjadi Audrey Hepburn yang menjadi putri di film Roman Holiday. Saya berkhayal menjadi dirinya dan berganti judul film menjadi the Victorian Holiday. Bangunan megah ala kastil yang di sekeliling eksteriornya dirambati tanaman berjalar dengan taman luas super cantik dengan hamparan bunga warna warni tak heran disebut sebagai salah satu simbol kota Victoria selain Gedung Parlemen bergaya Baroque yang berada di seberangnya. Dibangun oleh arsitek yang sama, arsitek muda berbakat dari Inggris saat itu, Francis Mawson Rattenbury, Hotel Empress, sejak dulu menjadi tempat peristirahatan para bangsawan Eropa dan pejabat-pejabat internasional sampai selebriti yang berkunjung ke Victoria. King George VI, Queen Elizabeth, Shirley Temple masuk dalam A-list guestnya.

Saya sempet masuk dan berkeliling sejenak di dalam hotel. Ah, so classically British. Biarpun tak menginap, tak ada salahnya melewati lobby lounge legendarisnya yang menyajikan classic Edwardian afternoon tea service, dengan menu teh, fresh scones, preserves dan Jersey Cream. Konon, saking legendarisnya, tamu disarankan untuk membuat reservasi 1-2 minggu sebelumnya untuk dapat menikmati ritual high tea ala Edwardian itu walau harus merogoh kocek CAD$70/orang.

Hotel berkamar 477, dengan kamar pilihan menghadap dermaga ataupun taman hotel yang cantik ini, memiliki pula sebuah restoran cantik bernama The Bengal Lounge, saya sempat mengintip. Dengan kombinasi dekorasi Victorian style dan Colonial Indian style ( era dimana Queen Victoria adalah ratu India disaat itu), resto ini sungguh klasik dan unik.

Saya tak bosan menikmati kecantikan hotel ini entah dari luar ataupun dalam gedung. Satu hari nanti, saya bercita-cita menginap disini, tak hanya menikmati dari luar saja, Satu hari nanti, honeymoon saya mungkin, kalau sudah bertemu seseorang yang tepat. Indeed, I was impressed by the Empress.

The Grandeur British Colombia Parliament Building
Belum selesai mengagumi The Empress yang impresif, di seberangnya saya kembali terkagum-kagum dengan kemegahan gedung parlemen British Colombia dengan kombinasi arsitektur bergaya Roman dan detil gaya Baroque.

Free tour disediakan dan Anda cukup mendaftarkan diri di muka pintu utama gedung. Seorang wantia cantik dengan gaun ala jaman Victoria akan menyambut Anda dan mengantar memasuki gedung. Interiornya yang klasik dan cantik sungguh memukau. Sambil menikmati langit-langit penuh lukisan dan ukiran bahkan ada yang dilapis tinta emas, sang tour guide asyik bercerita sekilas mengenai gedung ini. Rombongan turis pun kemudian diajak berkeliling. Dan sampailah kami di depan sebuah ruang yang merupakan the Legislative Chamber, ruang bernuansa merah yang merupakan tempat rapat para anggota legislative negara bagian British Colombia. Cantik oh cantik. Belum lagi di sekitar ruang itu kaca-kaca berhias gambar mosaic membuat sinar matahari yang masuk lebih berwarna.

Konon, Francis Mawson Rattenbury yang seperti saya sebut tadi, arsitek yang juga mendesain The Empress, mempertaruhkan namanya ketika diberi kepercayaan menerima project besar membangun gedung parlemen ini. Ia yang saat itu masih berusia muda harus bisa meyakinkan publik ia mampu. Dan nyatanya, karirnya melesat dengan karya-karya besarnya di Canada yang sampai kini bisa kita nikmati. Detil cantik central Dome berwarna hijau berukir di tengah bangunan gedung mengingatkan saya pada gedung-gedung tua di Roma, dan patung sosok Captain George Vancouver yang terbuat dari perunggu dan berlapis emas membawa ingatan saya pada pucuk salah satu gedung di Grand Palace Square di Brussel yang juga bergaya Baroque. Selera Rattenbury memang sangat terpengaruh masa kejayaan Eropa di masa lampau. Belum lagi taman di depan gedung parlemen yang megah ini begitu cantik dihias bunga-bunga dan sebuah kolam cukup besar dengan air mancur. Indah sekali. Di kala malam, seluruh gedung dihiasi lampu. Tak siang tak malam, gedung ini cuma memberi satu kesan bagi saya. Beautiful.

The Butchart Garden, Flower Lover’s Heaven
Karena sore hari sudah harus kembali ke Vancouver dengan kapal ferry, buru-buru saya penuhi agenda saya di Victoria dengan mengunjungi The Butchart Garden yang legendaris. Taman bunga yang sudah saya dengar dari rekomendasi teman sebagai salah satu tempat yang wajib saya kunjungi bila mampir ke Victoria ini sunggah tak mengecewakan.

Bila Anda adalah pecinta taman dan aneka bunga-bunga cantik, saran saya masukkan Butchart Garden dalam agenda bila Anda berlibur ke Kanada. Aneka tanaman cantik yang ditata dengan apik akan membuat Anda merasa betapa Tuhan begitu maha besar dengan segala karyanya di alam ini. Dibangun di awal abad ini oleh Jennie Butchart bersama suaminya Robert, seorang saudagar kaya yang sering bepergian keliling dunia, kini taman cantik ini telah lama menjadi permata di barat Kanada. Lebih dari 700 jenis bunga dan tanaman tumbuh mekar cantik di taman yang memiliki lima taman utama, Mediterranean Garden, Sunken Garden, Rose Garden, Japanese Garden dan Italian Garden.

Favorit saya sendiri adalah the Rose Garden dan Italian Garden yang terkesan sungguh romantis. Ketika melihat begitu banyak bunga mawar di taman ini, tiba-tiba saya menjadi kangen dengan mami yang telah saya tinggal berlibur hampir sebulan di Jakarta. Sebagai penggemar bunga mawar, pastilah ia akan senang berada disini. Italian Garden lebih romantis lagi, warna bunga-bunganya didominasi warna-warna bold seperti lilac, merah tua dan kuning. Rumput menjalar pada dinding yang dirawat rapih sebagai background sebuah patung perunggu bergaya cupid tampak cantik manis. Belum lagi sebuah kolam cukup panjang yang dikeliling aneka bunga. Mata Anda sungguh dimanja disini.

Memasuki Japanese Garden, sulit untuk merasa diri Anda tidak sedang berada di Jepang. Nuansa serba hijau dan gaya tanaman ala Jepang sungguh membuat Anda seolah sedang berada di taman-taman asri Kyoto atau di Sapporo.

Keluar dari area taman, tampak toko Seed & Gift yang menjual aneka keperluan berkebun yang pasti menjadi toko favorit para pecinta hobi bercocok tanam.

Merogoh kocek sebesar CAD25$ untuk dapat menikmati cantiknya taman ini, saya tak menyesal. Kenangan yang saya rangkai bersama bunga-bunga cantik di taman asri ini last forever. So, it is all worth it.

Good Bye Victoria
Menjelang sore, langit masih cerah. Saya kembali ke downtown Victoria untuk bersiap naik ke bus yang akan membawa saya menuju kapal ferry yang membawa saya kembali ke Vancouver. Saya masih sempat sekali lagi melintasi The Empress, gedung parlemen dan duduk termangu menikmati keindahan dermaga waterfront pulau ini yang cantik. Langit yang sama biru dengan warna air laut, barisan yacht putih yang parkir rapih di dermaga dan kereta kuda ditarik kuda putih yang gagah sekaligus anggun melekat erat dalam ingatan saya sampai hari ini. Keindahan Victoria di penghujung musim panas lalu akan saya simpan rapih dalam kenangan. Ketika kapal ferry membawa saya meninggalkan Victoria yang cantik itu, dalam hati saya berbisik, suatu hari nanti saya pasti akan kembali. Mungkin menikmatinya di musim yang berbeda, ketika salju menyelimuti pucuk-pucuk tanaman di Butchart Garden, ketika hamparan salju menjadi karpet yang menyambut saya di depan pintu the Empress dan ketika saya akan mengelilingi kota dengan coat tebal diatas kereta kuda. Satu hari nanti saya ingin kembali untuk mewujudkan khayalan indah saya di sini.

Travel Info: • Bila mengunjungi Victoria sendirian tanpa mengikuti tour, belilah tiket bus yang sudah sepaket dengan biaya kapal ferry. Sekitar CAD$89 return tiket. Bus berangkat dari kawasan downtown Vancouver. Lebih praktis dan ekonomis. • Bila waktu sangat singkat dan lebih memilih tour lokal, di internet banyak tersedia info atau dapat memesan tour di meja concierge hotel-hotel besar di downtown Vancouver seperti The Fairmount atau Holiday Inn. • Cuaca di Canada pada umumnya bisa berubah cukup drastis antara siang dan malam. Bila hujan turun dan disertai angin, cuaca bisa menjadi tiba-tiba sangat dingin. Jangan lupa membawa jaket tahan angin karena di dekat daerah laut umumnya angin cukup kencang. • Victoria tak banyak menyajikan makanan yang menarik dibanding Vancouver, resto yang ada pun tak buka sampai larut malam, Bila Anda suka ngemil di malam hari, bawalah bekal cemilan sendiri.

What A Wonderful Lucerne


Text & Photo by Mary Sasmiro

Perjalanan 16 hari di Eropa musim gugur yang lalu saya menyinggahi kota-kota cantik yang sulit dilupakan. Salah satunya adalah Lucerne, sebuah kota yang tidak terlalu besar di negara Swiss. Jangan berpikir saya terkesan karena suasana romantis seperti yang saya rasakan di Paris, tidak juga seperti kesan glamour dan aristokrat yang saya temui di London, tapi Lucerne meninggalkan kesan mendalam sebagai kota yang begitu tenang, bersih dan cantik. Sebuah kota yang begitu berbudaya, kaya akan sejarah, kaya akan pemandangan yang indah. Sebuah kota yang sederhana tapi begitu kaya akan kesederhanaanya.

Saya hanya tinggal dua malam di kota cantik ini. Saat pertama bus kami memasuki kota ini setelah meninggalkan kota Innsbruck-Austria, saya sudah jatuh cinta. Langitnya begitu biru, dikelilingi oleh panorama pegungunan dan di tengah kota dilalui sebuah danau indah yang bersih, dengan angsa-angsa putih berenang dengan anggunnya. Burung-burung camar beterbangan, ada pula yang asyik bertengger di sepanjang jembatan, ataupun di sepanjang jalan trotoar dan sepertinya mereka tidak terlalu peduli dengan manusia-manusia yang lewat di depan mereka. Mereka asyik saja sendiri.

Setelah bus berhenti di depan hotel, saya tak sabar ingin segera meletakkan koper di kamar dan pergi jalan-jalan sendiri menyusuri kota Lucerne yang cantik ini. Karena besok pagi grup tour saya akan berangkat ke Mount Titlis di pagi hari, untuk melihat salju abadi yang sudah lama saya bayang-bayangkan dalam benak. Dan saya yakin acara itu akan selesai baru setelah sore hari. Sangat sayang untuk melewatkan kota cantik ini begitu saja…jadi ketika ada acara bebas di sore hari setelah selesai check in di hotel, buru-buru saya mengajak teman sekamar bergegas keluar hotel. Berkelanalah kami berdua menyusuri jalan dan jembatan di tengah kota. Aduh, indahnya. Kami berdua sibuk saling bertukar kamera untuk saling memotret.

Cuaca saat itu cukup dingin, sekitar 8 derajat di kala matahari mulai terbenam dan turun menjadi sekitar 6 dejarat celcius di kala malam. Dan entah kenapa, saya justru senang dengan hawa seperti itu. Nuansa yang begitu berbeda dengan rutinitas saya di Jakarta. Berjalan menyusuri kota yang cantik dengan gedung-gedung tua yang dirawat dengan baik itu dimana daun-daun mulai berguguran, dan melihat para pejalan kaki yang stylish seperti memberi keasyikan tersendiri. Saya pun tak ketinggalan menikmati gaya autumn, turtle neck, syal, jacket, sepatu boot dan parfum kesayangan Hermes Eau Des Merveilles menemani saya sehari belajar menjadi European. Seru.

Beruntung hotel yang saya tempati benar-benar berada di tengah kota. Berjalan kaki 5 menit saya sudah sampai di stasiun kereta Lucerne. Berjalan dari sana 5-10 menit lagi, saya sudah bisa sampai di jantung kota Lucerne. Sungai Reuss terbentang indah dengan pertemuan dengan Danau Lucerne. Terlihat pula Water Tower dan Chapel Bridge yang berdiri cantik diatas sungai, dan ternyata kedua tempat itu menyimpan cerita yang menarik.

Chapel Bridge & Water Tower
Mengapa Chapel Bridge ini begitu terkenal dan menjadi semacam salah satu landmark kota Lucerne? Pertama, Chapel Bridge diyakini merupakan jembatan kayu tertua di Swiss dan dibangun pada sekitar pertengahan abad ke-14. Ditambah lagi, rasanya tak banyak jembatan kayu yang dihiasi lukisan-lukisan indah di langit-langitnya. Terdapat dua jembatan jenis itu yang ada di Lucerne, Chapel Bridge dan Spreuer Bridge.

Mulanya saya tidak terlalu ngeh pada gambar-gambar di langit-langit itu. Ketika berjalan malam-malam berdua dengan teman melewati jembatan itu, kami sudah pegal linu kakinya karena sebelumnya sudah menjelajah dari ujung ke ujung area shopping di tengah kota, saya mengajak teman sekamar saya itu duduk ketika melihat ada bangku bertengger manis di salah satu pojok jembatan. Mulailah kami berdua memijat-mijat kaki dan sedikit meluruskan badan.Saya memiliki kebiasaan menengadah ke langit mencari bintang-bintang bertaburan di langit kala malam hari jika sedang berada di lingkungan outdoor. Dan ditengah udara terbuka musim gugur Eropa yang sudah lama saya idam-idamkan, saya menengadah keatas, ada satu dua buah bintang. Kemudian saat itu lah mata saya menangkap adanya lukisan diatas langit-langit jembatan. Indah sekali. Lukisan-lukisan tersebut pastinyalah memiliki cerita karena sepertinya memiliki alur. Dan ada tulisan menghiasinya. Sayang, selain jarak yang agak jauh, saya memang tidak mengerti tulisannya yang rasa-rasanya berbahasa Jerman. Tapi gambar sudah mewakili seribu bahasa, saya sudah cukup senang menikmati gambar-gambar yang indah itu tanpa harus membaca. Lukisan tersebut sepertinya dari abad medieval era, dan bercertia tentang mitos-mitos kuno, jika saya tidak salah menginterpretasikan makna lukisan tersebut.

Lalu mata saya menangkap bayang sebuah menara berbentuk octagon yang megah berdiri seolah mencuat dari dalam sungai. Saya penasaran apakah itu, dan setelah keesokan harinya saya menyakan kepada tour leader saya, ternyata menara itu bernama Water Tower. Dibangun pada sekitar tahun 1300 dengan tinggi kurang lebih 34 meter, menara ini dulunya ternyata adalah sebuah penjara dan tempat penyiksaan.

Jujur saya tidak menyangka, pikir saya, bangunan itu sepeti bagian dari menara penjaga istana atau bagian menara penjaga kota. Dengan berada di tengah sungai secantik Sungai Reuss dan dilalui Chapel Bridge yang indah dihias bunga-bunga musim gugur, Water Tower sama sekali tak terlihat sebagai tempat yang ternyata dulunya menyimpan kisah cenderung menyeramkan.

Sampai hari ini, saya masih sering mengingat kecantikan panorama kota Lucerne yang te rekam dalam ingatan ketika malam tiba. Dimana, bayangan bangunan tua yang indah dihiasi temaran cahaya lampu berwarna kuning keemasan, terpantul indah diatas gelap warna sungai di kala malam.

Rasanya jika tidak memikirkan besok harus bangun pagi untuk bersiap-siap menuju Mount Titlis menyaksikan salju abadi, saya malas beranjak dari tempat saya asyik memandangi kota ini di kala malam hari.

The Lion Monument
Hari kedua di Lucerne, pagi hari dilewati dengan perjalanan dengan bus menuju Mount Titlis, gunung dengan salju abadi yang begitu terkenal sebagai aset wisata di Swiss. Perjalanan tak terlalu lama. Dan saya sangat menikmati pemandangan serba putih yang saya dapati disana. Walaupun salju di Mount Titlis bukanlah salju pertama yang saya lihat, namun tak urung saya juga menjadi kegirangan seperti anak kecil berusaha berlari-larian kecil diatas hamparan salju putih dengan atap langit biru yang begitu cerah. Sayang sepatu boot saya yang memang bukan khusus sepatu untuk diajak berjalan diatas licinnya salju, membuat saya kewalahan karena berkali-kali saya hampir terpeleset. Tapi, walaupun waktu di Mount Titlis tidak lama, saya kembali ke kota Lucerne meninggalkan kenangan manis di atas gunung menjulang tinggi yang deselimuti salju abadi itu.

Kebetulan hari itu adalah hari Kamis, dan di Eropa ternyata tak beda dengan di Australia, dimana hari-hari biasa toko-toko rata-rata tutup sekitar jam 5-6 sore, dan khusus di hari Kamis, serentak mereka tutup lebih malam, sekitar jam 9. Aneh memang, tapi sudahlah, saya tak peduli, saya merasa beruntung malam terakhir saya di kota Lucerne adalah hari Kamis, jadi saya puas berkeliaran dan menjelajah toko-toko.

Tiba lagi di Lucerne, jam masih menunjukkan pukul 15.30 sore. Saya sudah bersiap-siap ingin menjelajah toko Duty Free seperti yang ada di agenda itenary tour karena saya sudah mengincar sebuah jam tangan idaman. Tapi ternyata kita tidak langsung diajak bershopping ria, tour leader saya yang ramah dan kaya akan cerita-cerita sejarah itu mengajak kita semua mengunjungi sebuah monumen yang kini menjadi salah satu obyek wisata yang patut dikunjungi jika kita berada di kota Lucerne, The Lion Monument.

Banyak anggota tour yang lebih bernafsu buru-buru menuju area pertokoan. Saya masih penasaran dengan kisah The Lion Monument yang sekilas telah diceritakan tour leader saya ketika kami semua masih di bus. Ketika akhirnya saya menyaksikannya sendiri, entah karena saya adalah orang yang sangat sensitif atau apa, rasanya trenyuh melihat patung singa gagah perkasa yang tergolek mati terluka berbentuk ukiran raksasa di tembok batu diatas sebuah kolam kecil yang di sekelilingnya dihiasi aneka tanaman berwarna indah.

Saya begitu memperhatikan detail ukiran singa tersebut. Betapa ekspresi wajah singa yang tergolek mati dengan luka tusukan di perutnya itu terlihat begitu lelah dan kesakitan di detik-detik terakhir hidupnya. Dengan mati tergolek diatas perisai perang dan tombak, saya teringat kisah singkat yang tadi diceritakan pada saya.

The Lion Monument dengan tinggi 6 meter dan lebar 10 meter ini adalah monumen yang diukir langsung diatas bongkahan batu raksasa diatas telaga di tengah kota dekat taman Glasier. Diukir oleh seorang pematung asal Denmark bernama Bertel Thorvaldesen yang ditunjuk untuk menciptakan sebuah monumen memorial untuk mengenang para tentara Swiss yang gugur membela raja Prancis, King Louis XVI semasa perang Revolusi Prancis. Ketika massa menyerang kastil Tuileries di Paris pada tanggal 10 Agustus 1792, tentara Swiss yang terkenal, berjuang membantu membela para keluarga raja dan mengusahakan mereka untuk bisa keluar dan melarikan diri. Lebih dari 700 tentara Swiss gugur ketika mempertahankan istana dan keselamatan King Louis XVI, Marie Antoinette dan anak-anaknya.


Diatas ukiran tubuh sang singa perkasa, terdapat sebaris tulisan HELVETIORUM FIDEI AC VIRTUTI yang berarti ‘ Untuk kesetiaan dan keberanian pejuang Swiss,”. Pantas saya trenyuh melihat patung itu, singa gagah perkasa yang kini digambarkan tergolek lunglai, adalah gambaran keberanian dan kesetiaan membela sampai titik darah penghabisan. Terlihat dari bagaimana sang singa perkasa tergolek mati diatas perisai dan tombak. Mengagumkan.

Lucerne, kota jam tangan
Saya tidak pernah berencana untuk bershopping ria di Eropa karena niat utamanya hanya ingin memenuhi obesesi lama untuk bisa berkeliling Eropa melihat segala keindahannya di musim gugur. Niat paling banter berburu parfum di Paris yang memang terkenal gudang segala parfum ternama dan saya memang penggila parfum yang cenderung seperti pecandu akut.

Tapi ternyata kenyataannya Lucerne sangat menggoda sebagai kota untuk bershopping ria. Hanya di salah satu toko terbesar disitu,Bucherer, saya tahan keliling-keliling di dalamnya selama dua jam lebih! Saya jatuh cinta pada jam tangan TAG HEUR yang saya idam-idamkan sejak lama. Tidak murah memang, tapi entah mengapa , ketika di Jakarta saya bisa meredam niat membeli, sampai di Lucerne, Swiss, dimana terkenal sebagai pabrik dan pusat jam tangan branded saya menjadi tak tahan godaan. Mungkin karena produk-produknya dipajang begitu lengkap rangenya, ditambah pelayanannya yang ramah dan begitu profesional menjelaskan produk dan yang penting ditambah iming-iming diskon dan tax refund, iman saya jadi goyah. Dan ternyata banyak anggota tour lain yang juga asyik berbelanja ria. Ada yang berbelanja Rolex yang memang terkenal menjadi obyek shopping para turis penggemar jam-jam mewah. Bukan kelas saya, yang budget shopping agak seret, tapi tak urung saya tetap menikmati berkeliling melihat begitu banyak jam-jam tangan cantik dan mewah bertengger rapi di etalase. Sampai-sampai di tengah kota kecil ini, toko duty free yang saya singgahi ini memakai simbol jam rolex sebagai penanda di depan tokonya.

Swiss yang bermata uang Swiss Franc memang rasanya tempat yang asyik untuk bershopping karena mata uangnya lebih rendah dibanding Euro, dan tax refund yang ditawarkan cukup meringankan kantong. Terutama bila ingin berbelanja jam-jam tangan ternama. Ada yang bilang jam tangan Rolex sebetulnya lebih mahal di Swiss daripada membeli di Indonesia, tapi keaslian dan kualitas yang dibeli di Swiss pastilah lebih tak meragukan. Makanya saya tak heran masih saja banyak turis-turis baik dari Indonesia maupun negara-negara Asia lain seperti China, Hong Kong, Jepang dan Taiwan sampai setengah mengantri menunggu dilayani di counter Rolex yang memang memiliki ruang tersendiri dan jauh lebih mewah. Heran, jam tangan berharga 70 juta perak lebih, ada yang ratusan juta rupiah jika di kurs, tetap saja membuat orang mengantri membeli seperti hanya membeli jam tangan berharga ratusan ribu rupiah.

Petang Terakhir di Lucerne yang Penuh Warna
Karena saya memang bukan shophaholic sejati, saya tidak lama-lama menjelajah dari toko ke toko. Kalaupun iya, sebetulnya lebih pas disebut saya ber-window shopping. Memang Lucerne tempat menyenangkan untuk berbelanja. Saya tidak menyangka kota kecil yang semula saya kira cuma menjual pemandangan sebagai atraksi turis ini , ternyata memiliki aneka butik-butik branded. Mulai dari Morgan, Topshop sampai Bally. Belum lagi begitu banyak toko-toko yang menawarkan jam-jam tangan branded mulai dari Swacth sampai Rolex. Sebetulnya saya ingin berburu parfum, karena ada toko parfum yang begitu lengkap dan menggoda. Tapi pikir punya pikir, 3 hari lagi saya akan sampai di Paris, biarlah saya menahan napsu berburu saya sampai saya menginjakkan kaki di pusat mode dan parfum dunia itu. Jadi, sisa waktu yang masih saya miliki di kota Lucerne ini saya pakai untuk berkeliling kota lagi. Karena kemarin rasanya masih belum cukup, langit sudah mulai gelap kemarin ketika saya dan teman saya berjalan-jalan. Kini barang belanjaan saya cuma satu, jam tangan. Dan ketika teman-teman tour lain masih kalap bershopping ria dengan potongan harga duty free, saya dan teman sekamar saya memilih untuk menikmati beberapa jam terakhir kami di kota ini dengan menikmati klasiknya bangunan tua dan indahnya kota.

Kami berdua melewati sekali lagi Chapel Bridge di sore hari, kesan yang saya tangkap beda dengan yang saya dapat kemarin ketika melihatnya di kala langit sudah mulai gelap. Kecantikan jembatan tua yang sederhana namun terlihat kokoh dan bertengger anggun itu semakin nyata terlihat. Dihiasi kembang-kembang berwarna cerah, saya tak bosan bersyukur pada Tuhan, saya diberi kesempatan untuk melihat indahnya kota-kota di Eropa yang sudah lama saya idamkan. Semua menyimpan kesan tersendiri dengan ciri khas masing-masing. Tuhan benar-benar kreatif menciptakan dunia ini, dengan segala perbedaan budaya, ras, geografi dan lain-lain.

Dan karena itu, saya dan teman saya yang kebetulan sama-sama beragama katolik ingin mengucap syukur, entah kenapa pula kami berdua asyik mencari-cari gereja. Dan tak lama setelah kami menyusuri jalan, sampailah kami di depan sebuah gereja. Tak terlalu besar memang, tapi bangunannya memberi kesan begitu megah, begitu memberi kesan sakral buat saya. Gereja itu bernama The Jesuit Chruch. Dibangun sekitar tahun 1666 – 1677. Gereja cantik itu memiliki gaya design Baroque yang megah namun tidak terlalu mewah. Cukup sederhana, namun tetap mengesankan. Beruntung sedang ada misa sore disana, kami berdua memutuskan masuk, biarpun misa dengan bahasa Jerman itu tak satupun kata yang bisa saya mengerti. Mungkin hanya kata Amen. Lima belas menit berada di dalam, cukup buat saya untuk mengucap syukur kepadaNya, saya diberi kesempatan menyaksikan banyak tempat-tempat indah dalam perjalanan kali ini. Diberi keberuntungan dimana di musim gugur yang katanya sering turun hujan ini, saya selalu mendapati langit cerah dan biru terang tanpa hujan yang mengganggu.

Di luar gereja, saya mendapati pemandangan indah sungai Reuss yang terbentang cantik. Di sisi seberang tempat saya berdiri terlihat gedung-gedung tua dan café-café pinggir jalan yang cantik berpayung kuning cerah. Burung-burung camar beterbangan kesana kemari, ada yang bertengger di sepanjang pagar jembatan. Dan di atas sungai Reuss yang cantik itu, banyak angsa-angsa putih berenang dengan anggunnya. Dan ada sejenis bebek kecil berwarna-warni hijau dan biru keunguan, aduh cantik sekali. Tak henti saya memanggil-manggil unggas-unggas cantik itu. Merayu mereka untuk mendekat hingga saya leluasa memotret mereka. Saya begitu penasaran ingin memotret bebek berwarna itu, karena biasanya bebek model begitu hanya saya liat di ukiran-ukiran kayu Bali. Mahluk menggemaskan!

Cuaca sedang cerah-cerahnya ketika saya asyik berjalan kaki menyusuri kota kecil ini di hari terakhir saya disana. Saya kaget karena saya tidak sama sekali merasa lelah berjalan kaki segitu lamanya. Berkeliling kesana kemari. Memotret sana sini. Berusaha merekam setiap jengkal tempat yang saya kunjungi dan kenangan itu ingin saya abadikan untuk dikenang setelah saya kembali ke tanah air. Setelah asyik memotret di area depan gereja, saya dan teman berjalan mengikuti arah kemana kaki membawa kami. Tak lama kami berhenti di depan sebuah menara jam di tengah kota. Segera kami berdua membuka brosur travel guide yang kita ambil di lobby hotel tadi. Ternyata areal tempat kami berdiri adalah City Hall yang disana disebut Rathaus dan menara jam di depan kami itu adalah the Clock Tower. Salah satu simbol kota Lucerne selain Water Tower dan Chapel Bridge. Saya dengar-dengar, tempat ini sering dijadikan lokasi pemotretan photo-photo perkawinan. Tak heran, memang cantik.

Kami terus berjalan dan sampailah di satu tempat dimana saya melihat sebuah kolam air terjun kecil, di tengah-tengahnya berdiri semacam sebuah monumen kecil berukir wajah-wajah pada empat sisi tiang monumen. Di pucuk atas bertengger seorang prajurit berjubah perang. Saya penasaran apa nama benda yang berada di depan saya ini. Setelah mencari tahu, ternyata namanya Fritchi Fountain, air mancur Fritschi. Informasi yang saya dapatkan hanya menceritakan legenda tentang Brother Fritschi yang ternama di Swiss. Konon ada yang bilang, kuburannya ada di bawah air mancur tersebut. Saya tidak tahu apa itu hanya legenda atau sebuah kenyataan.

Kaki masih juga tak lelah berjalan, kami berdua menyusuri lagi jalan-jalan kecil yang ada di kota Lucerne. Terus berjalan hingga sampai kembali di toko dimana saya membeli jam tangan. Masih terlihat beberapa teman satu tour yang masih asyik heboh berbelanja. Saya lihat tangan mereka sudah menenteng berbagai paperbag. Bally, Tissot dan lain-lain.

Schwanenplatz atau bahasa Inggrisnya Swan’s Square, adalah area dimana toko tempat kami berbelanja tadi. Disana saya mulai melihat banyak mobil-mobil berlalu lalang. Rupanya dari tadi saya berada di jalur pedestrian yang bebas kendaraan bermotor. Tak heran saya tak terganggu dengan klakson dan suara deru mobil. Tata kota Lucerne memang didesain dengan cantik dan memperhitungkan kenyamanan penduduk dan pengunjungnya. Ada area dan jalur khusus untuk pejalan kaki dan tak tersentuh kebisingan kendaraan dan ada pula jalur yang boleh dilalui kendaraan bermotor. Andaikata Jakarta juga menerapkan sistem itu dengan baik. Asyiknya.

Matahari mulai terbenam, rasanya saya begitu jatuh cinta pada ketenangan kota cantik yang sederhana ini. Saya begitu menikmati perasaan tenang dan damai di kota ini. Tak banyak kendaraan yang berisik, bebas polusi dan keadaan tengah kota yang asyik untuk dijadikan tempat berjalan kaki begitu membuat saya diam-diam berharap di Jakarta suatu hari bisa menikmati suasana seperti itu.

Lucerne memang kota yang istimewa. Tak mudah melupakan cantiknya kota tua namun cantik dan anggun ini dengan segala bangunan-bangunan dari sejak abad 15, dengan kaca-kaca yang dihiasi lukisan-lukisan mosaik, Town Hall bernuansa jaman Renaissance yang dibalut keindahan Sungai Reiss dan Danau Lucerne yang menjadi jantung kota. Lucerne juga mengingatkan saya pada kota terapung Venice di Italy yang baru saya kunjungi beberapa hari sebelumnya. Bila Venice yang indah dan romantis itu hiruk pikuk dipadati turis, Lucerne tidaklah demikian. Saya tidak merasa harus berdesakan dengan para turis-turis lain untuk berebut mencari spot menarik untuk memotret dan dipotret. Itulah mungkin salah satu hal yang membuat saya begitu betah berlama-lama mengelilingi kota tua itu. Tenang, teratur dan pastinya indah.

Petang terakhir di kota Lucerne yang bernuansa klasik dan anggun itu meninggalkan kesan yang cukup dalam di benak saya. Saya masih kadang terkenang pada angsa-angsa putih yang cantik, masih penasaran pada bebek berwarna warni yang tak mau datang ketika saya panggil, dan saya masih ingin sekali lagi duduk-duduk di bangku pojokan Chapel Bridge sambil memandangi sungai Reuss yang memantulkan bayangan gedung-gedung tua yang terawat dengan baik.

Entah kapan saya akan kembali ke kota cantik itu. Satu hari, mungkin entah kapan, saya ingin sekali lagi mengunjungi kota-kota yang banyak meninggalkan kesan tersendiri buat saya. Pemandangan yang saya lihat disana dan orang-orang terentu yang saya temui di sepanjang masa liburan yang berkesan di musim gugur lalu.


Shopping Tips
1. Umumnya, toko-toko di Lucerne buka dari pukul 9.00-18.00 pada hari biasa, pukul 9.00-16.00 di hari Sabtu. Dan tidak semua toko buka pada hari Minggu. Tapi istimewanya, pada hari Kamis, toko-toko tutup lebih larut, sekitar pukul 21.00. Mereka menyebutnya shopping night.
2. Bila Anda peggemar coklat sejati, inilah surganya. Nestle, Tobler, Milka dan Lindt adalah produk-produk coklat andalan keluaran Swiss yang tak diragukan lagi kelezatannya. Menjadikan coklat sebagai oleh-oleh ketika pulang dari Swiss rasanya sudah tradisi.
3. Bingung mencari oleh-oleh? Kunjungi toko bernama Bucherer, di Schwanenplatz. Segala oleh-oleh khas Swiss bisa didapatkan disana. Mulai dari aneka souvenir, coklat, pisau lipat Swiss multifungsi Victorinox sampai jam Rolex.
4. Setiap pembelanjaan barang senilai 300 SWF, akan mendapatkan potongan pajak (VAT) sebanyak 7.6%. Ditambah dengan biaya administrasi sebanyak 8 SWF.


Quick Fact
1. Kota Lucerne dalam bahasa Italia disebut ‘Lucerna’, ‘Luzern’ dalam bahasa Jerman dan “Lucerne‘ dalam bahasa Prancis.
2. Musim semi adalah musim yang indah untuk menikmati bunga-bunga cantik di pinggiran kota, sedang musim panas yang jatuh di bulan Juli dan Agustus adalah saat yang tepat untuk menikmati kegiatan outdoor. Musim gugur adalah saat yang tepat untuk menikmati cantiknya daun-daun yang berubah warna. Dan musim dingin adalah saat paling pas untuk turis yang ingin mencoba winter sport seperti ski.
3. Mark Twain, seorang penulis Amerika terkenal, menganggap The Lion Monument di Lucerne sebagai, “ The saddest and most moving piece of rock in the world,”







Linderhof , Palace of a Dream




Text & Photos by Mary Sasmiro

Sejak dulu, saya sudah tertarik dengan segala yang berbau Eropa. Bangunannya yang historikal, seniman-senimannya yang hebat dan segala cerita sejarah yang tidak pernah habis digali.

Setelah sekian lama bermimpi akan merasakan sendiri indahnya benua Eropa, tidak hanya dinikmati dari foto-foto di majalah maupun apa yang saya lihat di layar kaca, akhirnya pada musim gugur tahun ini, saya membulatkan tekad untuk mengunjungi benua Eropa untuk merasakan dan merekam keindahannya dengan mata kepala sendiri.

Begitu banyak negara dan kota yang saya kunjungi, mungkin rute yang biasa ditempuh oleh turis-turis yang mengambil paket tur ke Eropa Barat. Saya menikmati kemegahan kota Roma, keagungan Vatican, merasakan betapa menyenangkannya bercanda dengan ratusan burung dara di tengah pulau Venezia yang indah dengan gondolanya yang melegenda, merasakan pula asrinya Austria melalui kota kecil yang asri bernama Innsbruck. Tak luput menikmati keindahan salju abadi di Mount Titlis dan kota Lucerne yang bersih dan indah di Swiss. Terkesan pula dengan Amsterdam yang terkenal dengan kanal-kanalnya, Heidelberg yang sangat’Jerman’ dengan segala mobil mewah produksi dalam negeri yang berseliweran di sepanjang jalan. Tak lupa pula Brussels yang mengagumkan , tanah kelahiran komikus idola saya, Herge, sang pencipta tokoh Tintin. Dan seumur hidup saya tidak akan lupa akan keindahan kota Paris yang romantis dan kemegahan Big Ben di Inggris yang membuat saya merasakan apa yang namanya deja vous.

Namun, dari semua tempat yang saya kunjungi, ada satu obyek wisata yang mungkin jarang dikunjungi turis Indonesia, tapi begitu indah dan sayang untuk dilewatkan. Disini saya ingin berbagi, betapa saya terkesan dengan kemegahan sebuah istana mungil di sebuah desa kecil di Jerman, sebuah tempat bernama Schloss Linderhof yang berarti Istana Linderhof.

Menuju Schloss Linderhof
Istana Linderhof terletak di sebuah daerah di Jerman dekat Oberammergau, barat daya propinsi Bavaria dekat Ettal Abbey. Linderhof merupakan istana terkecil dari tiga istana yang dibangun oleh King Ludwig II dari Bavaria. Tapi istana ini adalah satu-satunya istana yang selesai pembangunnannya dan sempat ia nikmati selama hidupnya disamping istana lainnya yang tidak pernah selesai pembangunannya sampai akhir hayat sang raja, yang mana adalah istana Neuschwanstein dan istana Herrenchiemsee.

Saya harus berterima kasih pada tour leader saya yang mengajak grup saya untuk menikmati keindahan Linderhof sebagai tour optional. Mulanya saya agak heran, tidak pernah saya mendengar nama itu. Mungkin karena dalam bayangan saya, Jerman tidak terlalu banyak meninggalkan sejarah yang menarik untuk saya pribadi, sedang saya sudah tidak sabar menanti kapan waktu saya sampai di Paris ataupun Inggris yang obyek wisatanya lebih saya kenal. Tapi ia meyakinkan kita semua bahwa istana tersebut begitu cantik dan tamannya sangat mengagumkan. Cerita tragis tentang King Ludwig II yang membangun dan tinggal di istana kecil tersebut pun tak kalah membuat penasaran seperti apakah istana yang konon tamannya menjadi salah satu taman terindah di dunia. Dan akhirnya, saya ikuti sarannya.

Kami berangkat dari kota Innsbruck,Austria menuju Schloss Linderhof di siang hari. Perjalanan menempuh jarak kurang lebih 80km dan karena melewati gunung dan lembah waktu yang ditempuh memakan waktu sekitar dua jam. Namun dua jam perjalanan di dalam bis sama sekali tidak melelahkan apalagi membosankan. Sepanjang perjalanan, saya tidak habis mengagumi keindahan alam dari kaca jendela bis yang saya tumpangi. Gunung, bukit dan lembah dengan rumah-rumah kayu khas Jerman di tengah padang rumput dengan warna-warni alam khas musim gugur begitu mengagumkan. Saya tidak tahu persis tanaman apa, pohon apa yang membentuk satu kesatuan aneka warna dari merah maroon, hijau, kuning keemasan membentang indah menyelimuti pegunungan dan lembah yang saya lewati.Dengan diiringi lagu Autumn Leaves dari Nat King Cole melalui Ipod, sungguh saya terbuai oleh apa yang saya lihat.

Tak terasa dua jam sudah kita lewati, dan tibalah kita di komplek istana. Saya agak kaget istana yang katanya tidak besar itu ternyata masih harus ditempuh dengan jalan kaki yang agak menanjak dari pelataran parkir bis. Untung saya sudah disarankan untuk memakai sepatu yang comfortable. Dan jujur saja, saya tidak ambil pusing, I’m just too excited untuk mengunjungi sebuah istana di Eropa, yang konon biarpun mungil namun menyimpan seribu kemewahan di dalamnya. Selama 10-15 menit berjalan, melewati hamparan taman luas sekali lagi saya menyaksikan betapa indahnya daun-daun kering berwarna kuning keemasan yang berguguran terhampar diatas rumput hijau. Saya merasa bagaikan kehadiran saya seolah disambut oleh permadani musim gugur.

Linderhof, Istana Impian Sang Raja
Sampailah saya di tempat dimana istana Linderhof megah berdiri. Agak kaget ternyata istana tersebut dari luar terlihat tidak besar. Cenderung terlalu mungil untuk disebut istana. Bangunan bergaya sangat Eropa itu eksteriornya dihiasi berbagai ornamen yang begitu detil. Warnanya yang putih agak krem dengan atap hitam tidak memberi kesan istana yang menyeramkan dan ‘dingin’. Saya menangkap kesan, istana tersebut lebih mirip sebuah vila tempat peristirahatan sang raja. Hangat dan bersahabat.

Memang benar apa kata tour leader saya, komplek istana ini memiliki taman yang sangat indah. Dan saya begitu terbuai oleh kecantikan taman-taman yang mengelilingi komplek istana Linderhof. Banyak patung-patung dewa dewi di setiap sudut, dan walaupun saya kurang paham dewa dewi siapa yang bertengger sebagai patung di pojok sana sini atau jenis tanaman apa yang tumbuh disitu, tapi saya hanya bisa menyebut kesemuanya dengan kata indah…indah dan indah.

Tepat di depan istana terdapat sebuah kolam buatan yang cukup luas, dengan patung seorang wanita berwarna emas sedang duduk di tengah telaga dikelilingi anak-anak. Tepat pada jam 4 sore, ada air mancur yang menyembur dari tengah kolam dimana patung wanita tersebut duduk, mulanya tidak terlalu tinggi…mulai meninggi dan semakin meninggi…megah sekali. Saya melihat ada jendela dari bangunan istana yang menghadap persis ke telaga tersebut. Saya yakin, King Ludwig II yang terkenal memiliki selera seni tinggi, sering berdiri di jendela tersebut untuk menikmati indahnya kolam dengan semburan air mancur tersebut semasa ia tinggal disana.

Mungkin ada baiknya saya sedikit bercerita mengenai King Ludwig II, seorang raja dengan masa pemerintahan yang cukup singkat dan terkenal karena pribadinya yang cenderung eksentrik. Kecintaannya pada dunia seni terutama sastra dan kekagumannya pada istana Versailles di Prancis lah yang membuat hari ini saya bisa berdiri tegak menyaksikan sebuah istana mungil yang menyimpan seribu keindahan dan kesan mendalam.

King Ludwig II yang bertahta dari tahun 1869 dan 1878, dilahirkan pada tanggal 25 Agustus 1845 di Nymphenburg Castle di Munich. Ia tewas dengan misterius di danau Starnberg pada tahun 1886, di usia muda, hanya 40 tahun. Sampai hari ini, tidak ada yang tahu persis, apakah ia mati terbunuh, kecelakaan ataukah bunuh diri.

King Ludwig II adalah tipe raja yang tidak terlalu tertarik pada dunia perang dan kekuasaan. Kecintaannya pada dunia seni membuat selama 9 tahun masa pemerintahannya, ia lebih dikenal sebagai raja kurang waras yang berambisi membangun berbagai istana mewah dibanding seorang raja yang kompeten mengurus negara. Singkatnya, semasa ia bertahta, Ludwig II terkenal dengan tiga hal: pertama, ia selalu berusaha tidak berurusan dengan perang, dan hal itu memberi perdamaian di Bavaria.Kedua, dia sangat terkenal dengan ambisinya membangun istana-istana mewah impiannya. Ketiga, Ludwig terkenal sebagai raja yang eksentrik dengan kecintaannya pada seni dan sifatnya yang tidak menyukai keramaian dan seperti hidup dalam dunia impianya sendiri.

Terlepas dari segala isyu Ludwing adalah raja yang kurang waras dan eksentrik, saya tidak bisa memungkiri segala keedanannya dan keeksentrikannyalah yang membuat saya ikut terbuai dengan segala fantasi dongeng yang ia miliki selama hidupnya. Segala itu saya nikmati selama kunjungan saya ke Linderhof.

Sayang ketika memasuki areal dalam istana, kami semua tidak diperbolehkan memotret. Jadi yang bisa saya bagi dengan Anda semua hanya ingatan saya secara tertulis dan semoga dengan tulisan saya pada bagian ini, bisa membantu mengajak Anda memvisualkan segala kesan dan detail yang saya ingat dari apa yang saya lihat dan sensasi yang saya bayangkan saat saya menjelajah ruang demi ruang istana yang tidak besar tapi meninggalkan kebesaran tersendiri dari pemiliknya.

Memasuki Istana Sang Pemimpi
Guide yang ramah, seorang wanita Jerman muda dengan antusisas bercerita sedikit mengenai siapa Ludwig II, sebelum ia membawa kami memasuki 4 ruangan utama yang ada dalam istana itu. Saya cukup kaget, hanya ada 4 ruangan besar dlm sebuah istana, terlalu minim dibanding dengan apa yang saya lihat dan bandingan dengan Istana The Forbidden City di Beijing ataupun Versailles di Prancis. Namun rasanya tidak fair membandingakannya dengan istana lain yang besar…tapi sesaat setelah saya diajak menjelajah setiap ruangan milik sang raja eksentrik yang menganggap dirinya The Moonlight King, saya berkata pada diri sendiri, istana mungil ini sungguh detail, dan tidak bisa saya bandingkan dengan ke-2 istana yang saya sebut sebelumnya karena ia juga memiliki ‘ kebesarannya’ tersendiri.

Eastern and Western Tapestry Chamber
Ruangan ini adalah ruang pertama yang saya masuki setelah menaiki tangga megah yang didepannya berdiri sebuah vas blu Sevres porcelain dari Prancis yang tak ternilai harganya. Ruang yang hampir seperti kembar ini tidak memiliki fungsi berarti, lebih disebut sebagai ‘The music Room,’ karena dalam ruangan tersebut Ludwig II menyimpan alat musik Aeolodionnya ( alat musik yang bentuknya seperti kombinasi piano dan harmonium ).Ruangan ini penuh dengan lukisan-lukisan pada sepanjang dinding Tirai mewah yang ada sangat berkesan dan berbau Prancis, budaya yang sangat dikagumi oleh sang raja.

Hall of Mirrors
Ruangan ke-2 yang saya masuki ini fungsinya dulu seperti sebuah ruang tamu bagi sang raja. Dari keterangan guide si wanita jerman yang cantik itu saya tahu Ludwig II sangat suka duduk di kursi mewah yang ada sambil membaca buku sastra favoritnya sepanjang malam. Sang raja terkenal terbiasa tidur di siang hari dan terjaga di malam hari menikmati kesendiriannya di tengah ruangan penuh cermin yang memantulkan segala keindahan nyala ribuan lilin yang menghiasi ruangan.Saya sangat terkesan karena ketika berada di ruangan itu, walau tidak terlalu besar, rasanya saya seperti sedang berdiri di dalam ruangan tanpa batas dan dikelilingi ribuan cahaya lilin yang remang-remang dan terkesan begitu magical . Kecintaannya menikmati dunia malam dalam dunianya sendiri dengan menciptakan ambience efek lilin seperti taburan bintang inilah membuat saya tidak heran ia disebut sebagai The Moonlight King.

Dining Room
Ruangan yang berada di sisi timur ini didominasi warna pink dan biru. Sebagai dining room pastilah ada sebuah meja makan.Namun yang unik dari ruangan ini, adalah sebuah dinning table pribadi sang raja yang bisa menghilang dari ruangan. Menghilang bukan dalam arti disulap, namun meja yang saya lihat di depan mata saya itu tidak ada ketika makanan diatasanya blm disajikan semasa Ludwig II masih menempati ruang itu. Ada semacam ruang rahasia di bawah meja tersebut yang terbuka dan memunculkan meja makan tersebut sudah penuh dihiasi hidangan diatasnya. Saya dengan cerewet bertanya, kenapa harus begitu? Dan wanita Jerman yang saya lupa namanya itu dengan tersenyum menjawab, “ Because the king hates to be disturbed by the staffs while they are preparing the meal for him,” Oh…jadi begitulah enaknya jadi raja, jika ia tak mau pusing diganggu, ada saja ide muncul meja sulap di tengah ruangan yang akan tiba-tiba muncul dari bawah lengkap dengan segala makanan mewahnya untuk dinikmati sendiri oleh sang raja. Sebuah ruang tersembunyi hanya untuk memunculkan meja makan penuh hidangan lengkap. Wow!Namun yang unik lagi, dengar-dengar, Ludwig II ini sangat menggilai tokoh-tokoh penting negara tetangga yaitu King Louis XV, Maria Antoinette dan Madame Pompadour, jadi…walaupun ia makan hanya sendiri di dinning table yang tidak besar itu, namun ia mengharuskan tersedianya 4 kursi. Satu untuk dirinya sendiri, dan ke-3 sisanya untuk ‘imagery guestnya’ yang tersebut diatas. Saya percaya raja itu emang tidak hanya eksentrik, mungkin daripada saya menyebutnya gila, lebih sopan saya anggap dia pemimpi sejati. Bagaimana tidak, saya tidak habis pikir bagaimana seorang raja bisa menciptakan sebuah ruang makan yang begitu indah. Sampai pegal leher saya menikmati setiap jengkal detail langit-langit dalam ruang tersebut. Penuh lukisan figure mitologi klasik yang begitu hidup dan ada beberapa tokoh yang bahkan dibuat 3 dimensi dimana seperti Flora sang dewi bunga dan Bachus, dewa anggur terlihat bentuk kakinya terjulur keluar dari langit-langit. Tokoh-tokoh yang kerap ditemui di era Bavarian baroque dan gereja Rococco pada abad 17 dan 18 tersebut terlihat begitu nyata, hidup. Dan saya, yang juga menyukai seni, mulai terhanyut…entah mengapa saat itu saya membayangkan Ludwig II sedang asyik meminum red wine bersama dengan ke-3 teman imaginasinya…terlintas Maria Antoinette dan Madame Pompadour dengan rambut tinggi berjambul.

Bed Chamber
Ketika diajak guide wanita Jerman memasuki ruangan bernama Bed Chamber ini, tour leader dari Indonesia membisiki saya, mungkin karena dilihatnya peserta tour yang paling antusias mendengarkan sejarah kebesaran impian Ludwig II adalah saya. “Ruang berikut ini ruang favorit saya, bagus sekali. Lihat deh nanti,” Dan benar. Memasuki ruangan besar dengan luas sekitar 100m2 dan tinggi 7 meter itu begitu mempesona. Sangat mewah.Didominasi oleh warna royal blue yang merupakan warna favorit sang raja. Ruangan mewah yang dipenuhi oleh lilin-lilin berjumlah 108 buah yang bertengger pada sebuah chandelier raksasa produksi Wina, Austria ini, terkesan sangat bernuansa Prancis. Lagi-lagi Ludwig mungkin memimpikan memiliki istana Versailles mini versinya sendiri. Ketika saya berdiri, tepat di depan ranjang raksasa sang raja pemimpi, saya melihat sebuah jendela yang menghadap ke kolam dengan wanita dan air mancur yang saya lihat di depan istana. Betul dugaan saya, Ludwig II menikmati keindahan taman dan kolam favoritnya tidak saja dari jendela namun langsung dari tempat tidurnya. Bayangkan Anda bangun tidur diatas ranjang raksasa dengan kanopi yang diatasnya berurai bulu burung unta sebagai hiasan kemewahan, dan di depan Anda terhampar pemandanga seperti itu. Saya sendiri sudah berandai-andai. Belum lagi, tiba-tiba saya dikagetkan oleh bayangan saya sendiri pada pantulan sebuah cermin raksasa di tembok sisi kanan ranjang sang raja. Saya kaget melihat diri saya seolah berada di ruang tanpa batas yang dipenuhi ornamen emas dan porcelain berukir, pajangan kristal dan lilin-lilin yang karena pantulan kaca seperti berjumlah ribuan. Saya mengagumi cara Ludwig menikmati kesendiriannya di ruang tidurnya. Raja yang tidak pernah menikah selama hidupnya ini saya rasa tidak pernah merasa kesepian di tengah fantasinya menikmati keindahan dan kemewahan istana mungilnya.

Dan berakhirlah penjelajahan saya memasuki dunia dongeng dalam ruangan-ruangan kesayangan mendiang King Ludwig II. Saya menyesali mengapa saya tidak bisa memotret di dalam sana. Dan ternyata, memang sampai di Jakarta saya mencari di internet, tidak juga saya ketemukan gambar yang bisa menampilkan isi istana. Semoga apa yang saya visualkan dengan kata-kata diatas bisa Anda bayangkan dengan imajinasi Anda sendiri.

A Fairytale Garden
Pergi ke Schools Linderhof rasanya tidak adil bila hanya membahas tentang keindahan isi istana tanpa menyebut tamannya yang begitu megah dan indah. Seumur hidup saya belum pernah melihat taman sebesar, semegah dan seindah apa yang saya temui disana. Taman penuh dengan patung-patung megah dikelilingi dedaunan berwarna-warni dan kolam-kolam kecil begitu cantik. Ada semacam gazebo seperti sangkar di sudut-sudur tertentu taman, mungkin tempat sang raja duduk-duduk menikmati taman impiannya. Ditambah hamparan daun berguguran yang terhampar seperti karpet bermotif alam begitu mempesona saya yang memang dari kecil begitu mendambakan menikmati indahnya musim gugur benua Eropa. Yang saya lihat disana, tak ubahnya taman dalam buku-buku cerita dongeng Hans Christian Andersen kala saya masih kanak-kanak dulu.

Taman di Linderhof memiliki kombinasi elemen Baroque , gaya taman jaman Renaissance dan English Garden. Taman super luas dengan luas keseluruhannya sekitar 50 hektar, sangat cantik bersatu dengan alam pegunungan apalagi di musim gugur ini, dimana daun-daun berwarna keemasan dan merah maroon berguguran, dan warna-warna pohon-pohon yang menghiasi pegununganpun seperti lukisan penuh warna.

Tak bosan-bosannya saya mengabadikan setiap sudut taman yang rata-rata dihiasi aneka patung dewa-dewi mitologi ada yang dari batu berwarna keabuan sampai yang dihiasi warna emas. Saya tidak tahu apakah itu dilapisi emas murni atau tidak, tapi saya tidak peduli, saya hanya bisa terbuai membayangkan King Ludwig II begitu pandai menikmati hidupnya yang sendiri itu. Mungkin ia menutup kesepiannya dengan keindahan yang ia miliki dan nikmati di lingkungan istana mungil ini.

Di tengah taman kami diajak mengunjungi satu tempat yang berada dalam kompleks taman, sebuah grotto ( gua ) yang ternyata isinya membuat saya kaget dan sekali lagi mengagumi ‘ kegilaan’ King Ludwig II. Bayangkan, sebuah gua yang isinya seperti negeri dongeng, dipenuh dengan lukisan-lukisan, dan dibangun untuk menikmati opera favorit sang raja. Ada panggung dalam gua, ada kolam buatan pula di dalamya. Dalam grotto indah itu, pada jaman Ludwig II sudah dipasang dengan 24 dinamo agar suasana dalam gua bisa dihiasi oleh lampu warna-warni untuk menghidupkan suasana dan menampilkan lukisan didalamnya lebih hidup. Merupakan suatu kemewahan luar biasa pada jaman itu.Saya membayangkan saya adalah tamu sang King of Moonlight yang diundang menikmati opera kesayangannya di dalam sebuah gua yang begitu indah. Apakah dandanan yang pas harus mengikuti trend busana Maria Antoinette agar saya pantas duduk disamping sang raja dan bertepuk tangan seusai pemain opera selesai menyanyikan karya Richard Wagner, sang komposer kesayangan raja?

Setelah saya menjelajahi ruang-ruang mengagumkan dalam istana, berkeliling kesana kemari menapaki luas taman sang raja, memasuki gua penuh warna, tak henti saya mengagumi tempat yang tidak pernah saya dengar namanya sebelum ini. Linderhof, beserta segala atribut, kisah sang pemiliknya dan segala skandal dibelakang nama sang raja.

Ternyata, ada sebuah istana kecil yang bisa meninggalkan kenangan begitu besar bagi saya. Tempat yang membuat saya merasa tidak ada salahnya menjadi seorang pemimpi. Tempat dimana saya merasa bahwa orang yang disebut gila mungkin adalah orang yang paling waras dan jenius. Paling tidak jenius dalam hal bermimpi.

Dan terimakasih untuk orang yang telah meyakinkan saya…saya harus ke Linderhof. Kini saya kembali ke tanah air, dengan sejuta kenangan di suatu musim gugur di bulan oktober yang indah.

Autumn Travel Tips
• Eropa memiliki 4 musim, summer, autumn, winter, spring. Bila ingin melihat daun aneka warna yang terbaik adalah musim gugur ( autumn ). Sekitar bulan September-October. • Pada musim gugur kadang sering diiringi turun hujan walaupun tidak lebat, jadi jangan lupa siapkan payung lipat yang handy. • Cuaca di Eropa bisa berubah cukup drastic dari hari ke hari, atau bahkan antara siang dan malam, jadi untuk menahan dingin di pagi hari dan malam dan tidak kegerahan di siang hari bila ada matahari yang cukup terik, pakailah pakaian berlapis-lapis.Layer per layer. Jadi lebih fleksibel. • Bila ingin lebih menikmati suasana beda di Eropa, siapkan ipod Anda dan isi dengan lagu-lagu favorit yang mendukung suasana perjalanan menjadi lebih ‘hidup’ dan menyenangkan. • Jangan lupa membawa body lotion dan lip gloss karena musim gugur dan musim dingin sangat membuat kulit kering.

Fashion tips untuk musim gugur • Pilihlah warna-warna yang tidak terlalu mentereng yang lebih cocok untuk summer. Warna-warna tanah, hitam, grey dan marron cukup macth dengan nuansa musim gugur. • Bila ingin memakai sepatu boot, pilihlah yang comfortable, tidak sekedar gaya. Karena travel pasti akan banyak dilalui dengan jalan kaki, boot yang dipakai haruslah nyaman. • Pilihlah parfum yang tidak terlalu light wanginya, karena parfum yang agak kerasa baunya di Indonesia saat musim dingin di luar, akan tercium beda. Parfum musim dingin dan musim panas memberi kesan yang berbeda.

Quick Fact
• Tour dari Indonesia jarang memiliki itenary kunjungan ke istana Linderhof, bila tertarik, mungkin bisa mencari tour optional ketika berkunjung ke Insbruck-Austria, jarak yang ditempuh dari sana sekitar 80km. • King Ludwig II diisyukan adalah seorang gay karena dia tidak pernah menikah dan terlihat dekat dengan wanita manapun setelah ia membatalkan pertunangannya dengan putrid Sophie, sepupunya. Malah, ia bergaul terlalu dekat dengan seorang komposer pujaannya yang mengilhaminya membangun Grotto indah untuk menikmati opera sang komposer, Richard Wagner. • Salah satu istana Ludwig II yang tidak sempat selesai pembangunannya, Neuschwanstein atau New Swan Stone dalam bahasa Inggris, bangunannya begitu indah dan megah sehingga menjadi inspirasi bentuk istana Sleeping Beauty di Disneyland.

Paris, Jet’aime




Text & Photo by Mary Sasmiro

“ As long as you haven’t been kissed during any of those rainy Parisian afternoons, you haven’t been kissed at all,”
( Woody Allen, sutradara veteran )

Paris, siapa yang tak kenal dengan nama indah sebuah kota yang memang juga indah itu? Paris adalah permata negara Perancis, kota yang terkenal dengan sejarahnya, dengan segala bangunan-bangunan tuanya yang anggun dan tidak ada yang berani menyangkal bahwa Paris adalah The City of Love, kota penuh dengan cinta.

Di bulan Februari dimana Valentine sudah menunggu, tiba-tiba saya teringat pada kota cantik di benua Eropa yang saya kunjungi 3 bulan lalu di musim gugur penghujung tahun 2007. Rasanya beberapa hari disana sangatlah tidak cukup, I really can’t get enough of the magnet of the romantic Paris at both night and day.

Bila saya yang berangkat kesana dan menikmati Paris sendiri tanpa pasangan saja sudah merasakan aura magis yang begitu kuat dari romantisme kota cantik itu, apalagi yang berpasangan?

Sebelum saya mengunjungi sendiri Paris, saya hanya tahu menikmatinya dari film-film favorit saya yang mengambil setting di kota super romantis itu. Sebut saja French Kiss, romantic comedy yang dibintangi oleh Meg Ryan dan Kevin Kline, Forget Paris dimana Debra Winger dipasangkan dengan Billy Crystal, sampai film box office Hong Kong di awal tahun 90-an besutan sutradara John Woo berjudul Once A Thief, kesemuanya mengambil setting di Paris, dengan indahnya Eiffel Tower, Champs -Ellysee dan Arc De Triomphe sebagai background. Dan cerita film yang memang sudah romantis itu menjadi semakin manis dengan bumbu setting di kota indah itu. Diracik lagi dengan tambahan selipan soundtrack lagu-lagu jazz klasik berbahasa Prancis seperti Les Yeux Ouverts, La Mer, Ces’t Ci Bon atau La Vie En Rose menambah lagi kesan super romantis. Saya tidak tahu, saya yang memang berlebihan ataukah Paris memang memiliki magnet kuat yang selalu membuat orang ingin kembali lagi kesana.

Saat pertama tiba di Paris setelah melalui perjalanan panjang dari Amsterdam dan sempat singgah di kota yang juga mengesankan, Brussels di Belgia, hari sudah petang. Saya sudah gelisah di bus ingin segera melihat kota idaman saya, tak sabar ingin melihat sendiri semua sudut keindahan kota Paris yang selama ini cuma bisa saya nikmati dari layar kaca dan layar bioskop.

Ketika bus mulai memasuki kota Paris, jam menunjukkan sekitar pukul 6 petang, saya begitu terkesan melihat bangunan-banguna di sepanjang jalan, tua tapi terawat baik, dengan temaran cahaya senja sebagai background, Paris benar-benar terlihat istimewa.C’est magnifique!

Setelah makan malam, saya langsung menuju hotel, melewati bangunan-bangunan legendaris seperti Place de la Concorde, Champs-Ellysee, Pont Alexandre III, Arc De Triomphe dan lain-lain. Sesampainya di hotel, rasanya saya tidak rela menghabiskan waktu hanya buru-buru tidur untuk menghemat energi mengikuti acara city tour di esok hari. Ingin sekali rasanya menikmati keindahan kota Paris kala malam. Akhirnya saya memutuskan keluar dan berjalan-jalan sendiri kembali ke daerah pusat kota Paris, Place de la Concorde dan sekitarnya, tempat yang tadi saya nikmati dari atas bus, dan magnetnya menarik saya kembali.

Dari hotel yang saya tinggali dengan modal bertanya dulu pada concierge dan berbekal peta dari hotel, saya mencoba menikmati kota Paris di kala malam. Dan biarlah saya berbagi cerita tentang kunjungan saya ke tempat-tempat yang menebarkan pesona aura romantis di kota Paris yang tak dapat dipungkiri memang pantas disebut ”The City of Love,”.

A Night full of Romance
Dalam semalam saya menikmati beberapa tempat tak terlupakan di kota Paris, tempat yang tak sempat lama saya singgahi namun untuk selamanya akan membuat saya ingin terus kembali lagi kesana, dan tentunya kali berikut saya harap saya tak lagi sendiri mengunjungi tempat-tempat indah itu.

Place de la Concorde, sebuah alun-alun terbesar di kota Paris, berbentuk oktagon dengan luas sekitar 8 hektar. Alun-alun yang terletak di tengah kawasan Tuileries dan kawasan pertokoan mewah Champs –Ellysees ini dulunya di masa revolusi Perancis adalah lokasi pemenggalan King Louis XVI dan permaisurinya, Marie- Antionette. Tapi jangan berharap Anda akan menangkap kesan angker di tempat ini, yang saya dapat hanyalah keindahan, kemegahan dan kesan romantis. Ketika saya melihat sebuah carousel di kawasan itu, saya tergoda untuk menaikinya. Saya melupakan phobia saya pada tempat tinggi, saya hanya ingin menikmati Paris semaksimalnya dalam 3 malam. Dan sungguh indah, dari puncak carousel, saya melihat Eiffel Tower yang gemerlap diselimuti taburan lampu-lampu. Di sudut lain, saya dibuat kagum oleh kemegahan Arc de Triomphe yang disinari lampu berwarna keemasan. Monumen megah yang didirikan oleh Napoleon Bonaparte untuk mengenang masa kejayaan pemerintahannya tersebut tambah kelihatan berkilau dengan dihiasi untaian lampu-lampu yang tergantung cantik di sepanjang pohon-pohon yang berjejer rapih di kiri kanan jalan Champs- Ellysees. Carousel saya berputar melambat di puncak, mata jeli saya menangkap aksi pasangan di kereta sebelah sedang asyik berciuman mesra. What a romantic night…a kiss up there where the beauty of Paris lies underneath you...a twinkling Eiffel Tower, a grandeur Arc de Triomphe turns golden, the lights along Champs- Ellysees…and a French kiss. A nice romantic package with just 8 Euro for a ride. Itu bisikan iri saya dalam hati. Tapi saya tetap tersenyum melihat mereka, turut senang melihat orang bahagia ditaburi cinta.

Dan perjalanan saya di malam pertama di kota Paris berlanjut dengan menikmati indahnya Pont Alexandre III, sebuah jembatan megah yang dilalui oleh sungai Seine. Jembatan ini mengingatkan saya pada film serial Sex and the City dimana pada episode terakhir, Carrie Bradshaw yang dimainkan dengan apik oleh Sarah Jessica Parker bertemu kembali dengan Mr. Big secara tak sengaja di Paris. SJP dengan gaun designer couture dan Manolo-nya, tampak begitu bahagia ketika berduaan bersama kekasih lamanya itu. Mereka berciuman mesra di atas sebuah jembatan yang juga dilalui sungai Seine. Memang bukan jembatan Pont Alexandre III, namun ketika saya sedang sendiri berdiri diatas jembatan megah ini, diam-diam saya berharap satu hari nanti saya juga akan menemukan Mr. Big versi saya disini dan ber French Kiss ria diatas jembatan cantik ini walau tak harus lengkap dengan couture dan Manolo. Rasanya otak tidak akan berputar sesuai nalar bila tiba-tiba saya dilamar di atas jembatan mewah lambang kejayaan bangsa Prancis itu. Dengan segala ukiran-ukiran mitologi kuno mirip cupid yang indah, dan lampu-lampu bercahaya temaran, menghadap pada menara Eiffel yang berkilauan kala malam ditambah indah kota Paris terpantul dari Sungai Seine, jangan-jangan saya tidak akan pikir panjang dan bilang yes, bila Mr. Big saya menyodorkan cincin di tempat ini. Saat itu saya tersenyum sendiri menyadari betapa saya telah terlalu jauh bermimpi. Tapi rasanya bukan cuma saya yang akan terpengaruh pada aura magis romantisme Paris. Di atas jembatan indah dengan 4 pilar mewah berukir setinggi 17 meter disetiap sudut jembatan itu, saya melihat sepasang pasangan Asia yang tampaknya juga turis sedang memadu kasih. Yang perempuan agak mirip saya yang sama-sama berambut pendek. Mereka tidak perduli dengan suasana kiri kanan dan asyik berciuman. Di tangan sang wanita terlihat ia sedang menggenggam setangkai mawar merah. Saya serasa menonton film romantis, live! Itulah Paris…penuh romantisme sejauh mata memandang.

The City of Love
Hari ke-2 di Paris dimulai dengan mengunjungi Eiffel Tower. Bila kemarin saya bisa melihat ia berkilau dengan lampu-lampu namun tak bisa mendekatinya, pagi ini saya dan anggota tour lain menaiki salah satu bangunan paling terkenal di jagat raya ini. Tidak sampai puncak memang, namun cukup tinggi untuk membuat saya menikmati Paris dengan puas. Cuaca musim gugur sedang bersahabat, awan biru cerah tanpa mendung sedikitpun. Hawa memang sedikit dingin menusuk, tapi hati saya yang sedang senang merasa hangat saja. Tak heran, begitu banyak film romantis memilih setting di tempat ini, sampai pasangan Tom-Kat alias Tom Cruise dan Katie Holmes pun punya kisah romantis tersendiri disini. Betapa tidak, Tom melamar Katie di puncak Eiffel. How Romantic.

Sore hari saya lalui dengan mencoba cruise melintasi sungai Seine. Durasi selama sekitar satu jam itu betul-betul membuat saya tambh jatuh cinta pada kota Paris. Betapa tidak, saat matahari mulai terbenam dan langit mulai gelap, lampu-lampu keemasan yang menyoroti gedung-gedung tua di sisi kiri dan kanan sungai mulai menyala. Pantulannya terlukis indah diatas sungai Seine. Sekali lagi saya melewati Pont Alexandre III, ada pasangan muda-mudi yang melambaikan tangannya dari atas jembatan pada kami yang berada di atas kapal seolah ingin berbagi kebahagiaannya. Dengan diiringi oleh lagu Les Feuilles Mortes yang merupakan versi bahasa Perancis dari lagu klasik Nat King Cole, Autumn Leaves terngiang di telinga lewat ipod, rasanya musim gugur tahun ini di Paris, sungguh romantis, walaupun saya tidak datang dengan seorang mon cherrie.

Paris masih memiliki banyak tempat yang pas untuk pasangan sedang dimabuk cinta. Saya memang tidak sedang jatuh cinta, tapi apa salahnya menikmati kota penuh cinta ini dengan harapan akan kembali dengan hati dipenuhi cinta bersama cinta yang baru.

Saya sudah mebekali diri dengan banyak informasi sebelum saya berkunjung ke negara-negara Eropa, agar saya semakin mendalami dan menghayati perjalanan liburan saya di benua cantik ini. Saya juga sudah banyak membaca dan menonton acara-acara TV di channel favorit saya mengenai Paris.

Mungkin tidak semua tempat-tempat yang saya sebut di bawah ini sempat saya kunjungi, tapi membacanya dari buku, melihatnya dari TV dan film, serta mungkin hanya melewati saja sejenak, saya juga ingin berbagi dengan Anda di bulan penuh cinta ini. Untuk yang masih sendiri seperti saya agar terdorong segera menemukan cinta, dan untuk yang sedang dimabuk cinta, akan lebih lengkap chapter love story Anda jika Anda mengunjungi kota super romantis ini, dan untuk pasangan yang sudah menikah, tak ada salahnya berbulan madu ke-2 di kota yang bisa membuat adrenalin cinta yang sudah mulai agak-agak redup kembali berkobar-kobar.

10 Most Romantic Spot to be with your loved ones
Ingin memberi kenangan romantis bagi pasangan terkasih selama berada di kota Paris? Mungkin tempat-tempat berikut bisa dimasukkan ke dalam agenda.
1. Square du Vert-Galand
Sebuah taman rimbun yang indah dan romantis dengan pemandangan menghadap Sungai Seine.
2. Puncak Menara Eiffel
Bagi yang ingin memberi kejutan romantis bagi pasangan, tidak ada salahnya mencoba dinner di restoran Jules Verne, yang menawarkan makanan lezat dan pemandangan spektakuler kota Paris .
3. Places des Vosges
Salah satu alun-alun tertua di Paris yang pada saat weekend banyak pemusik bermain musik di sekitar arcade, menghadirkan atmosfir yang istimewa.
4. Jardin du Louxembourg
Taman terbesar di kota Paris, disebut juga Luco.Taman ini memiliki kolam di tengahnya dan di sekeliling banyak dihiasi oleh patung-patung dan tanaman cantik.
5. Place de Furstemberg
Sebuah alun-alun yang tidak terlalu besar namun dipenuhi dedaunan cantik yang sempat dijadikan setting film box office yang dibintangi oleh Winona Ryder di tahun 90-an, The Age of Innocence.
6. Kawasan sekitar Arc de Triomphe
Bayangkan betapa romantisnya mengajak pasangan menikmati pemandangan salah satu kawasan paling indah di Paris sambil duduk bersantap di Roman Bistro.
7. Jardin des Tuleries
Taman dengan pemandangan indah menghadap Louvre, Place de la Concorde dan Muse d’Orsay, paket atmosfir yang menambah kesan romantis.
8. Kawasan sekitar Museum Louvre
Gedung berbentuk piramida kaca yang menjadi setting utama film Da Vinci Code ini pantas masuk ke agenda karena kemegahan bangunan yang mengelilinginya.
9. Ile Saint-Louis
Bayangkan Anda berada di tengah sebuah pulau kecil yang cantik di jantung kota Paris. Duniapun serasa milik berdua.
10. Jardins Du Palais Royal
Taman cantik yang berada di sisi kiri Louvre, dipenuhi oleh galeri-galeri yang memiliki nilai sejarah.

5 Best Place to Propose & say “ I do”
Ingin mengikuti jejak Tom Cruise melamar Katie Holmes di Paris? Mungkin ke-5 tempat ini bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk menjadi tempat paling berkesan bagi kita sebagai wanita to say , “ I do,”.

1. Di Puncak Menara Eiffel
Tak diragukan lagi, walaupun sudah didahului oleh pasangan Tom-Kat, tempat ini masih memiliki magnet untuk dijadikan tempat menjawab, “ I do,”
2. Di tangga Sacre-Coueur saat sunset
Berlokasi di Montmatre yang menjadi salah satu daerah favorit di Paris, Sacre Coueur berada di dataran tinggi kota Paris, bayangkan Anda dilamar di tempat dimana pemandangan di bawah Anda adalah indahnya kota Paris, dengan sunset sebagai background. Can you say no?
3. Dinner di Hotel The Ritz
Hotel favorit mendiang Lady Di ini memberi pemandangan menghadap Place De la Vendome. Saat bersantap malam, Saat lampu-lampu kota Paris bersinar indah dari jendela, saat tepat untuk berucap, “ Will you marry me?,”
4. Di depan gereja Notre Damme
Berlokasi di daerah paling romantis di Paris, gereja yang kala malam disinari lampu ini begitu pantas dijadikan tempat untuk pop up the question and wait for the “I do”.
5. Diatas taman berumput di Jardin du Louxembourg.
Taman yang dipenuhi oleh air mancur, patung-patung dan bunga-bunga indah ini pantas dijadikan tempat melamar saat sedang berjalan bergandeng tangan melewati taman berumput dan berhenti di depan air mancur Medici.

Paris, dengan segala keindahannya, dimana hampir di setiap sudut kota, café-café outdoor dipenuhi pasangan saling berpandangan mesra sambil menikmati latte, di sepanjang jalan pasangan saling bergandeng tangan & berciuman mesra. Tak jarang selama disana saya melihat pasangan sedang berjalan bersama dengan tangan sang wanita memeluk sebuah Rose bouquet yang cantik. Rasanya di saat menjelang Valentine ini, ingin sekali saya berbisik dalam hati, Je’amerais retourner a Paris.