Wednesday, February 24, 2010

Tracing the Bygone Era at Tugu








Text & Photo by Mary Sasmiro

Bila Anda juga seperti saya, tertarik pada kisah peranakan etnis Chinese di Indonesia pada masa lalu dan kebetulan sedang berlibur di k
ota Malang ataupun sedang berbisnis trip di kota ini, jangan lewatkan mengunjungi hotel Tugu yang legendaris karena keunikannya. Hotel mirip museum milik Bapak Anhar Setjadibrata, seorang kolektor barang-barang antik ini sudah sering muncul di halaman majalah-majalah travel dalam dan luar negeri. Namun disini saya hanya ingin membahas ruang-ruang yang membuat imajiinasi terbawa ke masa lalu. Masa nenek moyang saya mendarat dan melebur di tanah pertiwi Indonesia.


The Sugar Baron Room-Ruang Sang Raja Gula
Memasuki Ruang Sugar Baron Oei Tiong Ham, seorang raja gula dari Semarang membuat saya terpana. Sebagai penggemar biography kisah tragis tentang Oei Hui Lan, putri tersayang sang raja gula, ruang ini serasa sudah tak terlalu asing. Photo hitam putih Babah Oei yang tampak gagah berwibawa terpajang diatas sebuah meja yang ditata untuk menghormati leluhur. Photo putrinya Oei Hui Lan dengan rambut panjang terurai untuk sebagaian orang mungkin tampak angker tapi menurut saya justru begitu antik dan artistik mengingat foto itu diambil awal tahun 1900an. Kini, photo itu menjadi salah satu daya tarik utama ruangan ini. Tampak pula bingkai photo salah satu istri sang raja gula yang disumbangkan oleh salah satu keturunannya bagi pemilik hotel yang kini melengkapi ruangan ini bersama dengan suratnya. Sebuah meja panjang antik akan membawa Anda membayangkan Sang Sugar Baron makan malam bersama putri tercintanya, wanita pertama Indonesia yang go international di era 1900an. Menguasai 5 bahasa asing, bersuamikan menteri luar negri China yang juga tokoh PBB, menjadi bagian kaum socialite internasional dan tampak riwa-riwi di pesta para bangsawan Eropa. Ia mungkin adalah perempuan pertama di Semarang yang merasakan berkendara mobil. Konon, ia mengalahkan Soong Mei Ling alias Madame Chiang Kai Sek, dalam hal wanita Asia berpakaian terbaik dengan koleksi mantel bulu dan perhiasannya. Photo dirinya berpakain gaun ala art deco dengan kalung mutiara dan tiara, menjadi koleksi Museum Victoria and Albert di London. Sebuah ruang kaca penuh koleksi barang antik yang salah satunya adalah patung Dante yang dipersembahkan Babah Oei untuk Keluarga Tio di Malang turut mempercantik ruangan ini. Berada dalam ruang makan ini serasa dibawa ke masa lalu, makan malam bersama keluarga terkaya di Asia Tenggara di masa lalu lengkap dengan segala keglamouran masa lampau.

The Babah Room-Ruang Nenek Moyang
Bergandengan dengan The Sugar Baron’s Room, adalah the Babah Room yang mengetengahkan ruang gaya China peranakan tahun 1930-an di Jawa. Lemari kaca berisi deretan boneka puppet berkostum China penuh detil sungguh menarik. Di sebuah sudut tampak gambar leluhur masih berkostum pakaian kerajaan era Manchuria . Di sudut lain, ada meja sembahyang yang antik. Foto-foto hitam putih yang mengabadikan kaum cina babah di era lampau lengkap dengan gaya pakaian mereka menghiasi sudut dekat pintu kayu kokoh pemisah ruangan dengan ruang makan Oei Tiong Ham.

Waroeng Shanghai 1920-Warung Nostalgia
Berpindah pada Warung Shanghai 1920, imajinasi saya terbawa pada era tahun 1920an di pelabuhan Batavia. Sebuah bar dengan nama Waroeng Shanghai yang dikelola saudagar asal Shanghai beranama Chan Mo Shang dan istrinya asal betawi Siti Djaenab, dipenuhi oleh tentara-tentara Belanda asyik berminum-minum bercampur dengan saudagar China yang merantau. Foto artis jaman dulu asal Shanghai terpajang manis di dinding bar. Meja dan kursi barnya pun sangat era art deco. Menurut info pegawai hotel, hampir semua barang dalam ruangan tersebut berasal dari warung aslinya, termasuk genteng. Sang pemilik hotel tampaknya tak tanggung-tanggung dalam hal mewujudkan replika nuansa nostalgic dalam hotelnya. Tampak poster film Ca Bau Kan terpajang di salah satu sudut dinding lengkap dengan tanda tangan Nia Dinata sang sutradara. Film yang juga berbicara tentang kehidupan etnis Cina peranakan di Indonesia pada masa lalu itu rasanya pas benar berada di ruangan tersebut.

Toko Ban Lan-Toko Masa Lalu
Sebuah ruangan lain yang di pintu masuknya bertuliskan Ban Lam akan membawa Anda seolah memasuki toko kelontong era lalu. Ruangan ini memamerkan dan menjual sebagian barang-barang antik. Nuansa merahnya sungguh sangat oriental. Almanak Koran tahun 1920 berbahasa Belanda pun terbingai rapih. Signage kayu sebuah toko tua bertulis aksara China, dua patung porselain miniatur berkostum Manchuria dan sebuah kursi cukur kuno adalah sebagian daya tarik utama dalam ruang ini.

Sejarah selalu menarik buat saya, karena tanpa sejarah tak ada apa yang ada di hari ini. Satu jam lebih berkeliling ruangan-ruangan bernuansa Cina peranakan di Hotel Tugu Malang, seolah mesin waktu membawa saya kembali ke era masa lalu dimana masa keemasan budaya Cina memasuki tanah air dan melebur menjadi budaya tersendiri, etnis China peranakan.

Tuesday, February 9, 2010

One Fine Day at The Fisherman Wharf







Text & Photos by Mary SasmirO

San Fransisco, salah satu kota tercantik di Amerika, ternyata tak hanya terkenal dengan Golden Gate-nya yang tersohor. Liburan panjang lalu ketika saya menyempatkan diri berkunjung ke kota itu, yang sampai hari ini masih melekat erat dalam benak adalah ekpresi lugu anak singa laut di Fisherman Wharf.


Beruntung sekali saya menginap di Hotel Westin St. Francis di area Union Square yang lokasinya begitu strategis di jantung kota San Fransisco. Langit cerah San Fransisco dengan semilir angin yang cukup menggigit tulang menyambut saya dan Rika-teman setia traveling saya. Dengan bus tingkat untuk turis berkap terbuka, ala Double Decker di London yang halte-nya pas berada di seberang hotel, kami berdua mulai menjelajah kota. Saya tak akan banyak bercerita tentang Golden Gate atau Chinatown karena mungkin sudah banyak ceritanya. Kami memilih berhenti di Fisherman Wharf yang sudah tersohor sebagai daerah turis favorit. Tak apalah menjadi turis, tapi menikmatinya dengan gaya lokal. Saya dan Rika belakangan memang tak suka berlibur terburu-buru seperti dikejar setoran, jadi kami memilih berjalan sendiri dan bersantai ria menikmati tempat-tempat yang kami kunjungi. Tak diburu waktu, bebas icip-icip local food, bebas lama berphoto ria dan bebas duduk-duduk santai tak perlu digiring seperti anak itik buru-buru masuk bus ketika baru asyik jepret-jepret kamera yang belum panas.

Good Morning Fisherman Wharf
Dan pagi itu, atas rekomendasi seorang teman yang pernah bersekolah dan menetap lama di San Fransisco, kami dianjurkan untuk memulai hari yang cerah di Fisherman Wharf dengan sarapan di In n Out Burger yang sudah terkenal kelezatannya dan porsi yang besar. Kamipun memesan paket menu burger Double-Double. 100% murni daging sapi pilihan dihimpit fresh bun, irisan lettuce segar, 2 lapis American Cheese dan taburan bawang bombay berbumbu ditambah frech fries dan free flow soft drink sungguh nikmat. Saya dan Rika makan seporsi untuk berdua, pas! Bila seorang seporsi, rasanya timbangan kami akan berteriak.

Perut kenyang dan energi pun terkumpul. Kamipun berkeliling asyik menikmati suasana sekitar. Jejeran resto, open air café sampai gerobak makananan yang unik sudah membuat kami mulai berpikir kemana nanti akan lunch. Busyet, betapa lapar matanya kami saat itu! Kami putuskan untuk berkeliling toko-toko di sepanjang jalan. Toko barang antik ala Amerika, toko souvenir, toko permen dan butik-butik casual meramaikan daerah yang memang sarat turis domestik dan internasional itu. Saya menemukan sebuah toko souvenir yang menjual miniatur cable car khas San Fransisco berukuran sedang yang bila diputar akan mengeluarkan lagu klasik Frank Sinatra, “ I left my heart in San Fransisco,” Duh! Andai tak pusing dengan prinsip light traveling karena akan banyak berpindah kota, saya ingin membelinya. Sebuah toko permen yang tampil cantik dengan segala macam permen warna warni menarik minat kami, namun jujur, dari soal rasa, saya masih lebih doyan permen Nano Nano ala Indonesia. American Candy yang dijaja disana, buat kami berdua terlalu manis. Kami juga mampir ke toko coklat Ghirardelli, coklat khas produksi lokal yang sudah melegenda untuk oleh-oleh. Tak terlalu lama kami menghabiskan waktu dengan bershopping ria, karena saya sudah ribut ingin berkeliling sambil memotret.

The Little Food Tour
Begitu banyak café ,resto bahkan gerobak rombong bergaya khas Amerika yang juga menyajikan jajanan khas negara Paman Sam ini seperti hot dog dan burger . Tapi mata saya terpaku pada etalase kaca sebuah bakery yang jelas menampilkan dua orang gadis sedang mengolah adonan roti yang dibentuk model-model unik seperti kura-kura, boneka panda dan bahkan buaya dari balik kaca. Ke-2 gadis itu tersenyum ketika saya beri kode akan diphoto. Sepertinya mereka sudah sangat terbiasa menjadi obyek kamera para turis yang lewat. Kamipun memasuki bakery sekaligus toko yang menjual aneka makanan sampai buku masak bernama Boudin Bakery itu. Interiornya unik, dengan keranjang roti yang berjalan seperti monorail di atas kepala kita. Barang yang dijual pun pasti membuat siapapun yang hobi memasak seperti saya kegirangan. Buku masak, resep baking, aneka perlengkapan dapur modern yang minimalis sampai rustic ada. Belum lagi jejeran olive oil dari yang murni sampai yang diisi cabai dan herbs bertengger rapih. Ternyata Bakery ini sudah begitu tersohor di Fisherman Wharf sejak dulu. Spesialisasinya adalah sourdough bread yang tak lain adalah roti yang rasanya agak masam. Bila belum pernah mendengarnya, jangan kaget bila awalnya bisa berasumsi itu adalah roti basi. Roti yang asyik dicocol kuah panas clam chowder ini memang khas San Fransisco, dan khas Fisherman Wharf tepatnya. Disini, dapat pula memesan kopi panas yang wanginya masih bisa saya bayangkan sampai saat ini.

Entah karena terlalu banyak jalan atau menjadi rakus karena cuaca cukup dingin walau langit cerah, kami sudah mulai lapar lagi. Kami putuskan untuk mencoba makanan khas Fisherman Wharf, Clam Chowder . Sup panas tersaji cantik dalam mangkok roti sourdough. Jadi setelah kuah tersisa sedikit, koreklah bagian bawah mangkok roti yang mulai lembek karena panas kuah itu. Tak ubahnya seperti menikmati kelapa muda dalam batok kelapa. Buat saya yang memang penggemar segala macam cream soup, Clam Chowder yang creamy dan sungguh terasa clam-nya tanpa terasa amis begitu bikin ketagihan. Ada 2 macam soup based Clam Chowder yang tersaji disini, Boston Clam Chowder, soup berbahan dasar susu dan krim dengan potongan kentang, bawang bombay, bacon dan clam-semacam kerang. Warna tampilannya jelas putih dan kental. Manhattan Chowder berkuah lebih clear dengan warna kemerahan karena berbahan dasar tomat. Isi lainnya tak beda dengan Boston Clam Chowder. Merah atau putih, keduanya nikmat disantap. Rika sempat tergoda menyantap Steam Dungeness Crab, kepiting rebus yang berasal dari daerah perairan North America yang tampil berjejer rapih di food stall, tapi batal karena malas makan dengan tangan sambil berdiri. Saya tergoda dengan Seafood Cocktail Salad yang tersaji dalam gelas martini. Sayang mata lapar namun perut kenyang. Bila di Indonesia, kita terbiasa menikmati seafood tersaji panas dengan aneka bumbu, disini, seafood ala barat dinikmati dingin dan dimasak dengan cara sangat sederhana. Alasannya simpel, untuk tetap menjaga rasa aslinya. Yang penting fresh. Mungkin ada benarnya.

Pier 39, Primadona Fisherman Wharf
Mungkin Pier 39, area berhiaskan bendera bertuliskan Pier 39 dan bendera Amerika di sekitar dermaga adalah bagian paling favorit dari kompleks Fisherman Wharf. Tak lain tak bukan karena memang di wilayah ini banyak atraksi dan pemandangan menarik. Dari sini akan terlihat pamandangan khas icon kota San Fransisco nyaris komplit. Golden Gate yang hampir selalu dikelilingi kabut tipis di sekitarnya, penjara Alcatraz yang terletak di sebuah pulau kecil tengah laut tempat mafia legendaris Al Cappone pernah “menginap”, jejeran yacht dan sailing boat berseliweran di San Fransisco Bay, dan yang paling unik menurut saya, kumpulan singa laut liar yang asyik berjemur ria di dek-dek kayu yang disediakan khusus untuk mereka.

Konon ketika gempa dashyat melanda kota San Fransisco tahun 1989, kumpulan singa laut mengungsi di dek-dek sekitar Pier 39. Karena banyak diberi makanan berupa ikan herring oleh para pecinta lingkungan, semakin banyak yang datang dan akhirnya mereka berkembang biak dan sebagian besar menetap disana sementara yang lain berpindah ke laut wilayah selatan ketika musim panas.

Menarik sekali menyaksikan para mahluk coklat yang tambun seperti guling raksasa itu berjemur ria bak turis di Bali. Ada yg mungil dan ada yang bongsor. Bunyi mereka cukup berisik seperti sedang berteriak atau bernyanyi, entahlah. Sekitar dermaga tempat mereka berjemur pun tak bisa dipungkiri lumayan bau karena adanya mereka. Tapi saya dan sesama turis lain tampak tak terlalu terganggu. Kami semua asyik memotret dan menikmati pemandangan di depan kami. Ada singa laut yang jelas-jelas tampak tidur terlentang. Dan tiba-tiba dia terbangun karena seekor anak singa laut lain meloncat melintas di atas perutnya. Tampak ekspresinya seperti tak senang dan mengeluarkan bunyi aneh. Mungkin sedang mengumpat pada si kecil. Ada pula yang seperti sedang tidur berpelukan. Lucu sekali.

Rika asyik memotret sementara saya seperti anak kecil melambai-lambai pada seekor anak singa laut yang terlihat sedang bengong. Langit dan laut yang begitu biru menjadi background para mahluk lucu itu berpose natural. Perahu kecil dan boat yang terparkir rapih seperti hiasan yang melengkapi frame foto. Cantiknya.

Di daerah sini, dibalik tempat kami menyakiskan para singa laut, ada sebuah kompleks yang berisi pertokoan dan café bergaya western yang mengingatkan saya pada setting komik cowboy Lucky Luke. Umumnya toko disana lagi-lagi menjual barang souvenir. Adapula gerai es krim dan café terbuka. Di tengah kompleks ada panggung yang saat itu sedang menampilkan laki-laki muda sedang berakrobat beraksi dengan pisau-pisau terbang diatas sepeda beroda satu. Pengunjung pun bertepuk tangan riuh di jejeran bangku kayu yang disediakan. Hiburan yang pas untuk semua, tua dan muda.

Senja di Fisherman Wharf
Sepanjang jalan saya asyik menikmati Fisherman Wharf sambil memotret. Jejeran boat yang berparkir rapih, burung-burung camar yang asyik bertengger di dermaga, Street performer yang serba bisa dan toko-toko yang cantik dan unik. Langit biru cerah dipadu laut yang tak kalah biru dengan boat dan perahu berlayar putih yang beralalu lalang sungguh pemandangan yang cantik.

Ketika hari mulai larut, langit biru mulai berubah kuning kemerahan. Angin di sekitar dermaga semakin menggigit tulang. Suasana sekitar Fisherman Wharf masih saja ramai. Satu hari berlalu dengan menikmati tempat cantik ini. Membukanya dengan big breakfast ala American, menikmati toko-toko unik, menyantap sup panas dalam mangkok roti, duduk santai di kawasan yang membuat diri serasa tokoh dalam komik Lucky Luke, menikmati musik jalanan dari para street perfomer yang tak asal gonjrang ganjreng gitar seperti pengamen di lampu merah Jakarta, ditutup oleh lambaian selamat jalan pada anak singa laut. Kami berdua berjalan pulang menunggu bus yang akan membawa kami kembali ke Union Square dengan penuh senyum puas. Aneka kenangan manis terekam rapih dalam jepretan kamera dan tercatat rapih dalam ingatan di sebuah permulaan fall season di kota cantik ini.

Quick Fact
1. Belum ada bukti bahwa pernah ada tahanan yang bisa lolos dari penjara Alcatraz yang konon disana semua tahanan diharuskan mandi air panas agar kulitnya tak tahan lagi dengan air laut yang dingin. Di sekitar penjarapun sengaja dipenuhi dengan hiu-hiu ganas. Penjara ini tak digunakan lagi sejak tahun 1964.
2. Manhattan Clam Chowder yang berbahan dasar tomat adalah pengaruh dari bangsa Portugis yang berimigrasi ke Rhode Island di Amerika. Kuliner mereka memang terkenal banyak menggunakan tomat.
3. Ketika gempa besar melanda San Fransisco tahun 1989, dan tingkat pariwisata menurun drastis, Pier 39 dengan kumpulan Singa lautnya cukup memberi kontribusi menarik minat turis kembali ke San Fransisco.
4. Anjing laut dan singa laut tampak mirip. Yang membedakan adalah singa laut memiliki daun telinga dan anjing laut tidak.
5. Fisherman Wharf yang dulunya di era Gold Rush adalah kampung nelayan yang dihuni nelayan dari berbagai Negara, namun didominasi oleh nelayan Italy. Oleh sebab itu masih banyak restoran Italy di area tersebut.

Travel Tips
1. Di jantung kota San Fransico tersedia bus turis yang bisa membawa Anda keliling sekitar kota dan obyek wisata sehari penuh bernama Hop on Hop Off sight seing. Mudah untuk memesannya lewat meja concierge hotel.
2. Jangan lupa mencoba Steam Dungeness Crab yang sakit terkenalnya menjadi symbol kawasan Fisherman Wharf.
3. Tersedia paket tour bersama kapal menuju penjara Alcatraz, antrian umumnya selalu panjang.
4. Di Amerika, harga barang dan makanan yang tercantum belum termasuk pajak. Jadi jangan kaget bila ketika di meja kasir hendak membayar Anda akan dikenakan tambahan pajak sekitar 9.5%.

Monday, February 1, 2010

Lagnaa, Little Barefoot Resto in Little India





Text by Mary Sasmiro
Photo by Mary Sasmiro & M. Tran


Dari namanya saja sudah terdengar unik. Lagnaa adalah salah satu resto yang menyajikan authentic Indian food di kasawan Little India, Singapura. Restoran mungil bertingkat dua ini menyajikan makanan India dari kawasan north and south India dalam kemasan interior sederhana namun cozy. Anda bebas memilih, di lantai bawah duduk manis dengan meja dan kursi biasa, dengan hiasan dinding bertaburan pesan dan kesan serta tanda tangan para pengunjung yang terkesan dengan resto ini, ataupun Anda bisa memilih duduk santai sambil bersila tanpa beralas kaki di lantai dua.

Chef yang menyajikan menu-menu lezat di resto itu bernama unik, cukup dipanggil dengan K-7, menyingkat nama lengkapnya Kaesavan. Sempat mengobrol dengannya, saya direkomendasikan mencoba Indian masala tea, terasa segar namun beraroma spicy. Saya dan teman akhirnya membiarkan K-7 memilihkan menu lunch yang ia rekomendasikan. Akhirnya di meja kami yang mungil, tersaji Palak Panner,-bayam cincang dengan homemade cottage cheese dan pastinya Indian spices, Tredfin Fish Curry yang begitu lembut dengan sajian bumbu rahasia sang juru masak, yang satu ini membuat saya ketagihan. Kami juga menikmati Prawn Tandoori dan Butter Chicken dengan porsi yang pas untuk berdua. Dinikmati bersama Garlic Naan yang masih hangat dan begitu harum, rasanya nikmat sekali.

Setelah selesai menikmati lunch yang agak berat itu, Kumaarrie, seorang wanita India yang ramah pengelola restaurant itu, ia kembali merekomendasikan dessert yang menjadi signature dessert mereka. Saya meminta sesuatu yang light, tidak terlalu creamy karena saya sudah terlalu kenyang rasanya. Tapi the Kulfi Lime, Indian ice cream yang di blend dengan buah limau itu, tersaji begitu cantik dalam buah jeruk utuh, aduh, begitu segar sebagai pencuci mulut. Pas mengakhiri suatu siang yang panas di Little India.

Jika Anda kebetulan mampir ke kawasan perkampungan India di Singapore ini, mungkin boleh mencoba menikmati makanan India otentik dengan suasana santai.

Lagnaa
Barefoot Dining
No.6 Upper Dickson Road
Singapore 207466
Tel. (65) 6296 1215