Tuesday, March 16, 2010

Goyang Lidah Di Bumi Lancang Kuning






Text & Photo by Mary Sasmiro


Bulan April lalu, saya dan rekan sekantor mengunjungi Pekanbaru untuk urusan pekerjaan. Singkat memang. Hanya sehari, dan dipenuhi presentasi dan meeting. Tak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai kota tersebut karena memang tak banyak yang saya lihat kecuali kotanya yang bersih dan rapih itu cukup membekas dalam ingatan. Belum lagi bangunan-bangunan di jalan utama yang umumnya kental dengan bentuk atap dan motif khas melayu.

Namun, beruntung dalam kunjungan singkat itu, saya sempet mencicipi masakan khas Melayu disana yang sungguh menggoyang lidah. Klien saya yang ramah menawarkan lunch di hotel berbintang tempat saya dan rekan sekantor menginap, tapi kami lebih memilih diajak ke local restaurant, karena ingin mencicipi masakan lokal. Perjalanan dari hotel menuju restoran yang bernama Pondok Masakan Khas Melayu itu hanya sekitar 15 menit. Beruntung cuaca hari itu cukup bersahabat, dalam arti tak panas terik menyegat sepeti kebayakan orang menggambarkan keadaan Pekanbaru yang gersang, karena restauran itu tak ber AC, berbentuk seperti pondokan terbuka dengan beberapa pendopo.

Ibu Yusniaty sang pemilik, ternyata sudah mengenal klien saya. Mereka berakrab ria sejenak dan klien saya bilang, “Tolong Bu, tamu saya ingin mencoba masakan khas Melayu, dari Jakarta dia ini,” dengan campuran sedikit aksen melayu. Dan tak lama, pramusaji menyajikan piring-piring berisi aneka makanan dengan tampilan menggugah selera. Cara menyajikannya mirip seperti restoran Padang. Semua disajikan di meja dan tinggal kita pilih. Klien saya merekomendasikan mencoba Ikan Patin dengan bumbu tempoyak ( duren yang sudah diinapkan 4 hari dan kemudian dicampur aneka bumbu tradisional seperti cabai, kunyit dan bawang merah ). Rasanya unik.Bau duren yang biasanya menyengat tak terasa karena herbs & spices yang sudah blend in dalam racikan bumbu. Namun saat indra perasa lidah mulai bekerja, asin, manis, pedas dengan aroma khas durian yang samar terasa di dalam mulut..

Selanjutnya saya mencoba Ikan Baung Sungai yang berbumbu kuah berwarna merah menyala. Daging ikan yang lembut dengan kuah beraroma kunyit, bawang merah dan daun jeruk itu terasa asam dan pedas menyegarkan. Di piring sebelah, tersaji Ikan Pantau Garis Goreng. Bentuknya mirip ikan bilis (saya sempat mencari-cari garis pada badan ikan, entah karena sudah menjadi kecoklatan karena digoreng, garisnya tak tampak. Ah, bergaris atau tidak yang penting enak) digoreng dengan diselimuti bumbu cabai merah. Garing, gurih tak terlalu pedas tapi pas. Perut sudah mulai kenyang namun lidah masih ingin bertualang menjelajahi aneka sajian yang tersaji di atas meja. Udang galah panggang yang datang berikutnya membuat lapar mata. Sambal uleg dengan campuran cabai merah, bawang merah dan irisan buah nanas membuat saya lupa niat untuk berdiet berhubung pipi sudah mulai tampak bulat. Kata Klien saya, “Lupakan dietmu disini, di Jakarta saja Kau diet, masih banyak yang enak disini,” katanya tersenyum menyadari dilema saya. Benar saja, semangkok kerang berkuah bening disajikan di hadapan saya. Kerang darah direbus dengan bumbu sederhana seperti bawang putih, bawang merah, cabai rawit dan daun bawang menjadikan kuahnya terasa segar dan ‘tidak berat’. Saya hanya mencicip sedikit karena perut sudah berteriak penuh. Ketika melihat yang lainnya lahap menikmati ayam goreng garing dicocol sambal lengkap dengan sayur lalapnya, saya sudah menyerah. Saya memilih berjalan-jalan sekitar pendopo. Di sekeliling banyak pepohonan yang cukup rindang. Di satu sudut dinding terpajang foto sang pemilik resto dengan beberapa pejabat pemerintahan yang berkunjung kesana. Belakangan saya tahu dari klien saya, banyak orang penting seperti pejabat daerah bahkan menteri-menteri dari Jakarta bila berkunjung ke Pekanbaru tak lupa mampir ke restoran sederhana yang menyajikan masakan tak sederhana ini. Hm, tak rugi saya menolak makanan hotel dan memilih masakan lokal disini.

Tak lama Ibu Yus, menghampiri kami dengan membawa sepiring ubi goreng yang terlihat begitu yummy. Kuning menyala dan masih panas. “ Ini Ubi Janda, makanan penutup favorit pelanggan kami, “ ujarnya ramah. Saya bingung dengan namanya, dan ketika saya tanyakan, katanya tanpa alasan khusus apa-apa, hanya agar mudah diingat saja. Konon, menurut klien saya, banyak orang-orang memesan ubi janda ini untuk dibawa keluar kota bahkan sampai ke luar negeri. Wow. Saya yang terbiasa menikmati minuman yang manis-manis dan dingin sebagai hidangan penutup minta direkomendasikan minuman khas. Datanglah Jus Melayu. Campuran 4 rasa buah favorit saya, Mangga, sirsak, alpukat dan terong belanda. Aduh, minuman ini sungguh enak. Manisnya pas dan segar, tak meninggalkan rasa eneg.

Sambil menikmati hidangan penutup, sang pemilik yang ramah menawarkan diri untuk menyumbangkan suara emasnya menghibur kami. Diiringi keyboard di pendopo seberang, beliau mendendangkan lagu melayu yang saya tak tahu judulnya tapi enak didengar.

Perut kenyang, hati senang. Saya menikmati makan siang penuh warna ini dalam kunjungan singkat di kota Pekanbaru. Walau saya tak sempat bertualang berkeliling kota, paling tidak, lidah saya sempat bertualang mencicipi aneka sajian khas melayu disini dengan suasana yang sangat melayu pula.

Pondok Masakan
Khas Melayu
Jl. Jend. Sudirman/Adi Sucipto
( Dekat Bandara SSK II )
Pekanbaru

No comments:

Post a Comment